Senin, 17 Juni 2013

MENGALAHKAN EGO

Pertama: Apa itu Ego?
waktu kelas 2 SMP saya dapat pelajaran Bahasa Latin.
itu, kali pertama saya melafalkan kata "ego" dengan sesadar-sadarnya.
"Ego", semacam pintu masuk ke dalam bahasa yang terbilang cukup rumit dipahami.
"Ego" punya sederet saudara sepupu: mei, mihi, me, me.
tentu berdasarkan kasus yang dibutuhkan.
cukup rumit memang, makanya kubilang bahasa yang satu ini cukup rumit dipahami...
"Ego" memiliki arti yang sederhana, yaitu "AKU".

saya bertemu lagi dengan "Ego" saat sudah duduk di bangku kuliah.
tapi bukan dari pelajaran Latin, tapi Psikologi.
Setiap orang yang belajar psikologi, pasti mengenal "Ego".
saya sungguh ingat,
psikolog dari aliran psikoanalisis-lah (tepatnya Sigmund Freud) yang memakai kata ini.
Kalo disilsilahkan, Ego itu kakaknya "ID" dan adiknya "Super Ego".
jika tak salah ingat, "Ego"-nya Opa Freud itu menunjukkan ke diri juga.
Mungkin "self".

Akhirnya, saya sepakat meski sepihak:

Ego adalah diri kita sendiri....

Kedua: mengapa ego harus dikalahkan?
Pergulatan terbesar pribadi yang sadar eksistensi adalah bagaimana mengalahkan diri sendiri.
Pribadi disebut otentik hanya seandainya ia memahami esensi kemudian eksistensinya.
Pribadi jenis ini tahu betul cara beradanya di dunia.
tidak terlalu gegabah jika kupetik lagi pepatah kuno
dalam tulisan sebelumnya "24: Dua Puluh Empat"
Bunyinya begini: "No man is an Island".

Pribadi, menjadi otentik hanya dan jika hanya berada bersama pribadi yang lain.
Ia berada secara sosial (homo socius).
Pribadi disebut manusia jika ia bersanding bersama pribadi yang lain,
dan hanya melalui itu ia menemukan makna atau arti keberadaannya.
singkatnya, pribadi bukanlah manusia jika ia hidup seorang diri.

Cara berada manusia yang mutlak membutuhkan pribadi yang lain,
memaksa manusia untuk selalu berhubungan dengan yang lain.
Pribadi memiliki karakter dan kemauannya sendiri. Inilah alasan mengapa pribadi dicap UNIK.
Kawan pasti tahu, keunikan tiap pribadi tidak dapat disamakan begitu saja.
Keunikan hanya dapat diakui dan dikolaborasikan.
hasilnya menjadi harmonis. Indah bukan?

Ketiga: Karena Manusia mutlak hidup bersama pribadi yang lain !!!
Dalam menggapai HARMONIS, tentu "Ego" dipertaruhkan.
Karena "self" itu unik, ia berkarakter kuat.
Kata orang, "self" itu banyak maunya.
kadang terlihat seperti anak kecil. mau yang ini dan mau yang itu...
kemuannya tak terbendung.
mungkin hanya terbendunga dengan jenis kemauan "self" yang lain...
itulah dasar kenapa "Ego" dipertaruhkan di sini....

Satu hal yang pasti untuk menggapai KEHARMONISAN..
Ialah: Mengalahkan EGo.
Ya, mengalahkan kemauan yang ini dan itu..
karena yang ini dan itu selalu bersifat liar..
karena mereka liar, berpotensi untuk menghancurkan...

Pada akhirnya,
mari kita jinakkan kemauan-kemauan liar kita kawan...
dengan ini, kita sungguh menjadi manusia yang ber-socius..
kita pasti telah mengalahkan EGO lalu terbit sebagai pribadi otentik...

Selamat berjuang !!!!
Kontrakan, di penghujung malam......
Senin 17 Juni 2013




Sabtu, 15 Juni 2013

24: Dua puluh Empat

saya ingat betul...
kukenal angka ini kala aku berada pada bilangan tiga tahun...
saya masih sangat amatir dalam mengerti hidup..
namun saya paham satu hal, angka ini terdiri dari dua angka; 2 dan 4...
dari bilangan tiga, usiaku merangkak naik ke bilangan empat, lima, dan seterusnya..
kemudian, bilangan itu ternominasi dalam kategori usia sekolah....
waktu SD saya sungguh menyukai hitung-hitungan...
bukan rahasia pribadi lagi, kalau aku naksir berat sama hitungan perkalian...
dalam perkalian aku menemukan angka 24 ( lagi....)
dari sini, saya mengerti dari mana usul dan asalnya 24...

usul dan asalnya dari penjabaran ini:
1x24
2x12
3x8
4x6
6x4
8x3
12x2
ingat, dahulu saya suka perkalian...

Lihat... !!!
Ada tujuh bentuk perkalian yang menghasilkan angka 24.
bukan kebetulan, tentunya, tapi ini keistimewaannya.
bagiku angka 24 begitu berharga.
Ia terdiri dari tujuh bentuk perkalian. Simbol yang istimewa bukan?
(mereka yang meminati dunia hermeneutis, keistimewaan ini cukup beralasan)

Entah pada masa kepemimpinan siapa,
periode ke berapa, dan zaman apa...
aku kekurangan segalanya dalam menjalankan riset...
tapi kutahu, ada suatu waktu, dimana
Angka tujuh disakralkan..

sekali lagi, aku kekurangan pengetahuan untuk memberi alasan akademis..
tapi aku tahu,
membuat sakral deretan numerik cukup kuat dalam tradisi Romawi.
beberapa tahun silam, kudapat informasi
jika hal yang sama juga berlaku untuk simbol numerik Yunani dan mungkin China.
itu alasan pertama, mengapa kuistimewakan angka ini...

Lihat... !!!!
24 juga menunjuk jumlah jam sehari.
deret hitungan waktu; mulai detik, menit, dan jam, akhirnya bermuara pada hari.
dalam hari terbentang siang dan malam...
siang identik dengan terang dan malam lekat-erat dengan pekat gelapnya..
siang dan malam--terang dan gelap ..tertuju pada sisi hidup insan-insan berjiwa.

Renungkan... !!!
ada saat di mana hidup terasa layak dihidupi,
tepat, saat kehidupan penuh bertabur cerah-meriah...
sebagaimana saat kita bekerja di bawah terang..
kita bekerja dengan sukacita, penuh semangat..
karna terang alam turut menyinari..
sisi hidup yang ini, banyak orang mendambakannya.
karena setiap insan ingin mencari terang, tentu saja !!!..

Eitss...simpan saja pertanyaan "mengapa"-mu kawan....
sekali lagi, karena aku tak menyiapkan banyak deretan kata setelah "karena"...

Setelah terang ada gelap, layaknya malam yang datang menggantikan siang..
jangan lupa kawan, juga saat hidup terasa buntu...
saat itu, semuanya susah untuk dihidupi. kita dalam gelap kala itu...
sisi ini, orang menguras tenaga berupaya menghindari..
orang, pada dasarnya, anti gelap.
karena manusia tahu, ia berziarah menuju terang....

Eitss...simpan saja pertanyaan "mengapa"-mu kawan....
sekali lagi, karena aku tak menyiapkan banyak deretan kata setelah "karena"...

Nah... !!
Siang berganti malam, habis gelap terbitlah terang..
insan berjiwa hidup dalam terang maupun gelap..
Ia berdinamika dalam dua sisi itu; siang dan malam.
entah siang maupun malam, manusia selalu hidup...
gelap dan terang; selalu punya cerita. itulah pengalaman...
dalam 24, selalu ada cerita.
biasanya di penghujung malam, setiap insan saling mencari.
mereka ingin bertukar cerita; cerita yang ada dalam 24.

24; simbol hidup.
ada terang, tak lupa gelap.
ada siang, lalu bergilir digantikan malam.
begitu juga hidup; terang dan gelap...
lalu mereka mensejajarkannya dengan yang baik dan buruk..
meski mereka tidak begitu saja bisa disamakan...
di 24 ini, ku ingin merayakan hidup. Sungguh...

(karena teman minta antar pulang ke tempatnya berasal... sampai di sini saja dulu tulisan ini)

Kupersembahkan hari bahagia ini untuk:

Allah, pemilik kehidupan. Anugerah ini tak ternilai apa pun...
Orang tua, yang trut menghadirkan dan meneruskan kehidupan....
untukmu semua kuhaturkan syukur dan cinta yang tulus...
juga kepada kakak Thy, Adik Nonik, dan Nanik yang selalu mendukung dan mendoakanku
dalam keadaan apapun... Kalian adalah alasanku untuk selalu mensyukuri dan menikmati hidup...

Untuk yang kucintai, Nona Etheldreda. yang selalu memberikan cinta tanpa berharap.
Itu cinta yang tulus menurutku.
akhirnya untuk semua sahabat dan teman-temanku:

"benar kata pepatah kuno; No man is an island".
kuterlahir dan menjadi manusia karena hadir dan ada-mu semua.
terima kasih untuk semua doa, harapan, dukungan, dan cinta
yang kalian berikan tanpa pamrih...
Kalian adalah inspirasi hidup dalam mensyukuri hidup...
ada-mu semua memberikan insight yang selalu baru dan unik..
selebihnya, patut direnungkan dan diamalkan akhirnya.

Tuhan memberkatimu semua.....






Jumat, 14 Juni 2013

“KERUSUHAN THE JAKMANIA ” MENURUT PERSPEKTIF TEORI PRASANGKA


I.             Pengantar
Dunia persepakbolaan Indonesia sungguh berbeda dari model sepak bola Eropa. Banyak aspek yang menjadi titik perbedaan antara keduanya, terutama kualitas permainan dan aksi para suporter. Di Indonesia, aksi para suporter ini sering mendapat perhatian dari media maupun masyarakat. Tidak jarang sorotan ini muncul karena aksi-aksi mereka yang kadang disertai dengan tindakan anarkis baik dalam stadion maupun di luar stadion. Ulah di luar stadion sering menjadi penyebab berbagai masalah, misalnya kemacetan lalu lintas, berbagai macam kerusakan, dll.

Salah satu kelompok suporter bola di Indonesia yang menjadi kelompok sentral adalah The Jakmania. The Jakmania adalah kelompok suporter klub bola kaki PERSIJA (Persatuan Sepak Bola Jakarta). Kelompok suporter bola ini sudah dikenal seluruh masyarakat Indonesia karena kerusuhannya. Media, baik cetak maupun elektronik sering mengekspose berita-berita tentang ulah-ulah yang dilakukan  The Jakmaniamania. Kerusuhan yang terjadi memiliki latar belakang yang berbeda, misalnya faktor kekalahan, diserang, atau pun ingin membuat keributan. Sehingga, kerusuhan terjadi kadang bukan hanya antara The Jakmaniamania dengan kubu dari luar (suporter PERSEBAYA “Bonek”, PERSIKABO-Bogor, PERSIB-Bandung, dll) tetapi juga kadang terjadi kerusuhan antara The Jakmania sendiri. Paper ini tidak akan mengulas kerusuhan yang terjadi di antara The Jakmania sendiri, melainkan kerusuhan  Jakmania dengan kubu-kubu dari luar.
Ada beberapa alasan dipilihnya kerusuhan The Jakmania sebagai contoh kasus. Pertama, kerusuhan ini melibatkan dua kelompok besar. Konflik antara dua kelompok ini menarik karena terjadi dalam beberapa periode, hampir setiap tahun dalam setiap pertandingan terjadi kerusuhan. Perseteruan antara dua kubu merupakan fenomena yang menarik untuk dianalisis sebagai suatu gejala psikologi sosial. Kedua, faktor kedekatan tempat tinggal penulis dengan The Jakmaniamania turut menjadi motivasi untuk menganalisis fenomena psikologi tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, penulis mengambil teori prasangka (prejudice) sebagai acuan analisis. Teori prasangka ini kiranya dapat memberi pendasaran mengenai penyebab atau alasan terjadinya berbagai macam kerusuhan antara The Jakmania dengan kubu-kubu lain. Penyebab terjadinya kerusuhan tentu dilihat dari sudut pandang psikologi sosial. Pemilihan teori prasangka sebagai acuan pun tentu memiliki pertimbangan khusus. Melihat perseteruan melibatkan dua kelompok besar dan intensitasnya yang constant (terjadi setiap tahun), maka penulis melihat ada sesuatu yang mendasar yang sudah menjadi kekhasan dalam kubu atau kelompok tersebut.

II.          Ilustrasi atau Ringkasan Kasus
Berikut disajikan dua kasus yang berkaitan dengan kerusuhan yang melibatkan The Jakmania:
Pertama, di Bogor. Tawuran antar suporter terus terjadi. Kali ini melibatkan suporter Persikabo dengan warga Bogor pendukung Jakmania. Bentrok antara kedua kubu terjadi di wilayah Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Akibatnya seorang warga setempat terluka Pantauan di lapangan, Jumat (3/12/2010) sore, tawuran terjadi saat ratusan suporter Persikabo melintas di Jalan Raya Bogor, tepatnya di Nanggewer, Kecamatan Cibinong. Motif tawuran ini belum jelas karena dua kubu langsung terlibat dalam aksi lempar-melempar batu[1].
Kedua, di Jakarta. Menyusul kekalahan Persija, The Jakmaniamania berbuat rusuh usai pertandingan. Suporter Persija ini membakar spanduk, merusak sejumlah kendaraan motor dan fasilitas penerangan di sekitar stadion Gelora Bung Karno. Mereka juga melempari polisi dengan batu dan botol. Untuk mengendalikan keadaan, polisi menyemprotkan air bertekanan tinggi ke arah para pendukung Persija. Setelah perlawanan mereda, polisi mengejar para pendukung Persija hingga ke luar stadion. Namun, bentrokan kembali terjadi. Sejumlah suporter yang diketahui berbuat kerusuhan akhirnya ditangkap polisi[2].


III.       Landasan Teori[3]
Telah dikatakan sebelumnya bahwa dalam menganalisis kasus yang telah dilampirkan, dipakai teori prasangka. Prasangka, menurut Allport (dalam Mar'at, 1981) adalah ekspresi sikap prasangka melibatkan peranan-peranan negatif seperti misalnya; penghinaan, ketidaksukaan, kebencian yang kesemuanya menunjukkan sikap antipati[4].
Secara umum ada dua bagian penting dalam teori prasangka yang menurut saya berhubungan langsung dengan kasus di atas. Kedua bagian itu adalah: mempelajari prasangka dan motif-motif untuk prasangka. Selanjutnya akan diulas lebih spesifik bagian-bagian tersebut dalam hubungannya dengan kasus yang telah disajikan.

3.1. Mempelajari Prasangka. Pembentukan prasangka memiliki tahap-tahap dalam prosesnya. Prasangka bukanlah sesuatu yang dilahirkan (sebagai kodrat manusia) tetapi suatu hal yang dipelajari (dapat melalui lingkungan dan kebiasaan). Dua faktor utama pembentuk awal prasangka adalah sosialisasi dan (peran) media.
3.1.1.      Sosialisasi
Anak-anak tidak dilahirkan dengan stereotype dan prasangka. Mereka mempelajarinya dari keluarga, kerabat, media, dan masyarakat di sekelilingnya. Hal inilah yang disebut sebagai sosialisasi. Sosialisasi mengacu kepada proses bagaimana anak-anak mempelajari norma-norma sosial konvensional atau tradisioanal dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi inilah anak-anak belajar tentang norma-norma sosial kemasyarakatan. Adapun mekanisme belajar yang kerapkali dipakai oleh anak-anak dalam proses itu adalah sebagai berikut.
ü  Imitasi (meniru apa yang dilakukan orang dewasa).
ü  Reinforcement (penguatan). Seorang anak mendapat penguatan ketika dalam masyarakat atau kelompok kecil seringkali diceritakan tentang hal-hal tertentu yang bersifat menghina kelompok lain.
ü  Asosiasi. Anak-anak sudah mengasosiasi suatu hal negatif dengan kelompok-kelompok tertentu.
            Prasangka seringkali dipelajari pada tahap-tahap awal dalam hidup. Orangtua dan kerabat bertangungjawab dalam upaya menanamkan norma sosial. Orangtua memegang peranan penting dalam pemahaman prasangka pada anak-anak.
3.1.2.      Media
Media merupakan representasi dari sumber-sumber yang potensial dalam pembelajaran sosial khususnya bagi anak-anak. Beberapa dekade lamanya, ras minoritas hampir pasti jarang terlihat di media-media masa. Televisi juga cenderung memberitakan untuk menguatkan stereotipe bahwa ras minoritas erat kaitanya dnegan kriminal.

3.2. Motif-motif Prasangka. Ada dua macam motif prasangka yakni pendekatan psikodinamis dan kompetisi dalam kelompok.  Pendekatan psikodinamis tidak mendapat tempat yang banyak dalam paper ini karena kurang berhubungan langsung dengan kasus yang disajikan. Sebaliknya, kompetisi dalam kelompok menjadi prioritas, karena telah diutarakan dalam bagian pengantar bahwa kerusuhan yang terjadi melibatkan dua kelompok besar.  Kedua motif tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Pendekatan Psikodinamis yang terdiri dari Displacement Aggression dan Authoritarian Personality
2.      Kompetisi dalam Kelompok. Gagasan motivasional lain adalah prasangka merupakan bagian dari persaingan kelompok. Hal ini bermula dari anggapan bahwa masyarakat merupakan komposisi kelompok-kelompok yang berbeda dalam kekuatan, sumber ekonomi, status sosial, dan atribut-atribut lainnya. Kelompok yang dominan dimotivasi untuk menolak adanya ketimpangan. Persaingan menghasilkan konflik antar-kelompok yang selanjutnya saling berprasangka. Ada beberapa versi teori yang mengulas hal ini. 
ü   Konflik kelompok yang realistis. Teori kelompok yang realistis memandang prasangka sebagai konsekuesi persaiangan yang tak terelakkan di antara kelompok yang lebih berkuasa. Teori ini berargumen bahwa ketika dua kelompok berada dalam suatu persaingan, mereka akan saling mengancam. Hal ini menciptakan perseteruan di antara mereka dan menghasilkan evaluasi negatif yang timbal balik. Jadi, prasangka merupakan konsekuesi dari konflik nyata untuk memperebutkan sumber-sumber yang diinginkan dua kelompok.
ü   Deprivation Relatif. Ketidakpuasan oleh karena keyakinan bahwa salah satu kelompok sudah berhasil daripada yag lain. Teori ini melihat prasangka sebagai reaksi terhadap frustrasi yang nyata. Tetapi kadang-kadang orang menghayati bahwa mereka dihalangi oleh yang lain, meskipun dalam kenyataannya mereka sesungguhnya mampu melakukannya dengan baik.
ü   Sense of Group Posession (Perasasan rasa memiliki dalam kelompok). Kelompok bekerja secara aktif untuk melindungi status istimewa dan segala penghasilannya atau kepemilikanya dan menentang adanya subordinasi dari kelompok lain.
ü   Teory dominasi sosial. Teory ini berasumsi bahwa kelompok-kelompok dalam masyarakat bertujuan untuk diatur dalam hierarki-hierarki, dengan beberapa kelompok berada di atas dan yang lain di bawah. Hierarki ini pertahankan melalui diskriminasi, mengesahkan mitos, dan usaha-usaha individu yang tertinggi dalam dominasi orientasi sosial.

IV.       Analisis Kasus
Melihat kedua kasus di atas, penulis mencoba mengidentifikasikannya dari sudut teori prasangka. Aksi-aksi anarkis yang seringkali dilakukan The Jakmania bukanlah suatu tindakan spontan. Tindakan itu memang berakar dalam kelompok The Jakmania sendiri dalam membentuk streotipe yang selanjutnya membangun suatu prasangka tertentu terhadap kelompok lain. Mengingat prasangka tersebut tidak lepas dari unsur-unsur negative yang menyertainya dan juga sarat emosi, maka tindakan anarkis muncul dari situas itu. Berdasarkan teori-teori di atas, ada dua hal pokok yang  ingin dikemukakan yakni: “regenerasi” The Jakmania

 dan persaingan antar kelompok.

Pertama, “Regenerasi” The Jakmania.
Kelompok supporter Persija ini akan tetap eksis dan generasinya tidak akan habis (sejauh PERSIJA juga masih menjadi klub sepak bola). Hal ini didasarkan pada adanya kegiatan “regenerasi” (secara tak sadar) terhadap anggota The Jakmania. Dikatakan “regenerasi” tak sadar karena supporter Persija meliputi orang-orang dari berbagai umur. Anggota-anggota mereka terdiri dari anak-anak usia SD sampai orang dewasa. Tidak jarang juga anak-anak kecil ini ikut bergabung dalam pawai-pawai akbar The Jakmania ketika Persija bertanding.

Pada saat anak-anak ini bergabung dan berkumpul dengan The Jakmania yang lainnya, mereka mulai mempelajari prasangka. Pada tahap awal, anak-anak itu bergabung bersama The Jakmania, ia masih melakukan sosialisasi tahap awal yakni imitasi dan reinforcement. Menambuh genderang di atas Metromini sampai aksi lempar-melempar batu seperti yang terjadi di Bogor, mulai ditiru anak-anak. Selanjutnya, mendapatkan penguatan dari cerita-cerita anggota lain yang menjelek-jelekkan suporter lain turut membentuk prasangka si anak. Pada akhirnya, ia sudah memiliki prasangka sendiri tentang suporter klub lain, dan mulai mengasosiasikannya. Misalnya, ketika mendengar kata PERSEBAYA, yang ada dalam pikirannya adalah musuh dan harus dilawan, karena BONEK (suporter PERSEBAYA) dikenal anarkis. Atau lebih luas dikatakan bahwa, ketika mendengar klub bola lain, pihak yang berprasangka menganggap itu sebagai musuh.
Selain itu, peran media juga turut mendukung proses pembentukkan prasangka. Seringkali media, baik media masa maupun elektronik, mengekspos berita-berita kerusuhan yang dilakukan The Jakmania. Pemberitaan seperti ini turut mendukung terbentuknya kepemilikan identitas terhadap Persija. Berita media yang selalu mengabarkan sisi negatif  The Jakmania dapat juga dijadikan wahana pembentuk identitas mereka sendiri. Mereka berpikir bahwa kerusuhan itulah yang menjadi identitas The Jakmania.

Kedua, Persaingan antar-kelompok.
Kelompok Jakmania memang memiliki stereotipe sendiri tentang kelompoknya. Ada kekhasan yang mendorong mereka untuk merasa super dalam segala hal. Mereka memiliki anggota yang banyak, anak ibukota (negara). Selain itu, klub yang didukung mereka pun tidak jarang berada pada posisi atas klasemen dalam partai-partai Liga. Secara umum dapat dikatakan bahwa The Jakmania sebenarnya mempunyai nama besar dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Sementara kelompok lain seperti BONEK, suporter PERSIB (Bandung), atau PERSEMA, dll belum tentu mengakui keistimewaan dan kebesaran mereka. Sebab dalam persepakbolaan, mereka juga memiliki gelar dan suporter yang sama besar seperti The Jakmania. Sehingga persaingan untuk memperebutkan harga diri dan gengsi-lah yang menyeret kedua kelompok ke dalam kerusuhan yang tak terelakkan.

Selain itu, pada kasus yang kedua di atas, dinyatakan bahwa kerusuhan bermotifkan pembakaran spanduk dan pengrusakan sepeda motor di Stadion Gelora Bung Karno. Alasan kerusuhan adalah kekalahan yang diterima oleh PERSIJA dari PERSEMA (Malang). Tindakan ini sebetulnya suatu tindakan pengalihan (Deprivation Relatif) karena suporter tidak mengetahui lagi siapa yang menjadi sasaran kemarahan mereka. Mereka tidak mungkin menyerang para pemain PERSIJA yang bermain kurang optimal dalam menjamu PERSEMA. Hal ini masih berkaitan erat dengan persaingan kelompok di atas sebab anggota The Jakmania yang sudah merasa memiliki PERSIJA, merasa kehilangan harga dirinya.
Peristiwa kekalahan ini menyentuh sisi sensitivitas kelompok Jakmania yang mempunyai nama besar. Orang yang sudah merasa memiliki kelompok tertentu (Sense of Group Posession), akan membela kelompoknya apabila kelompoknya terancam. Dalam sejarah persepakbolaan Indonesia, para suporter, tak terkecualikan PERSIJA, memilik rasa fanatik yang tinggi terhadap klub andalannya. Pribadi-pribadi dalam kelompok itu pun pasti mempunya respek terhadap klub yang didukungnya dan ia menilai klubnya sangat istimewa (seperti tak ada tandingannya lagi). Pada saat keistimewaan itu tergusur oleh kekalahan dari klub lain, maka ia membela rasa kekalahan dengan jalan tindakan anarkis atau kerusuhan.

V.          Tanggapan
Tindakan kekerasan dalam dunia persepakbolaan di Indonesia memang sulit untuk diakhiri. Hal ini bukan sebatas masalah adanya kekerasan atau tidak tetapi memiliki suatu corak multiproblematis. Hal yang telah dipaparkan merupakan tindakan kerusuhan yang dilakukan oleh The Jakmania dari perspektif Ilmu Psikologi Sosial (khususnya teori Prasangka). Kerusuhan sudah sering terjadi dan hampir tidak bisa dikendalikan lagi, karena sudah menjadi kebiasaan umum kelompok-kelompok suporter bola khususnya suporter PERSIJA. Kerusuhan ini tentu berpengaruh buruk terhadap masyarakat luas khususnya penduduk kota Jakarta. Pengaruh buruk itu tampak dalam terganggunya keamanan masyarakat juga menyangkut anak-anak yang terlibat dalam organisasi magnum ”the Jakmania”.
Sudah banyak langkah praktis yang ditangani oleh pemerintah. Salah satu langkah praktis itu adalah meningkatkan kualitas penjagaan pawai-pawai akbar para supoter selanjutnya memantau dan menindaklanjuti segala kerusuhan di stadion atau pun di luar stadion. Hal ini memang berada pada tahap legalitas, yakni meningkatkan keteraturan hukum keamanan.
Dari sudut psikologi sosial, pembentukan prasangka bisa diatasi sejak dini. Dalam kasus aktual kerusuhan The Jakmania dan eksesnya bagi masyarakat umum, terutama anak-anak, diharapkan perlu pendampingan orang tua secara intensif terhadap anak. Pendampingan intensif ini dilakukan khususnya ketika anak berada pada umur-umur sosialisasi. Anak perlu dididik untuk tidak mengikuti organisasi yang berpotensi merusak mental anak sendiri. Perlu pengarahan sejak dini. Relevansinya, terdapat pada pendidikan nilai yang harus diberikan kepada anak oleh orang tua ataupun lingkungan.
Selain itu, perlu adanya keseimbangan pemberitaan media. Di Indonesia, memang ada undang-undang kebebasan pers. Hal ini bukan berarti pers sebebas-bebasnya dan tidak memperhatikan efek pemberitaan itu sendiri. Justru hal ini yang sering tidak diperhatikan. Pemberitaan pers (misalnya soal kerusuhan atau kekerasan ), di satu sisi, mungkin bercorak ekonomis karena banyak diminati khalayak sehingga mendatangkan keuntungan. Di pihak lain, dari segi psikologi, pemberitaan itu akan berakibat pada psikologi seseorang atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya suatu keseimbangan dalam pemberitaan. Hal ini mengandaikan dalam dunia pers sendiri terdapat filtrasi berita yang sangat ketat dan bersih.

Daftar Pustaka:
Bacaan Utama:
Thaylor Shelley, Peplau, dan Sears, 2006, Social Psychology, New Jersey: Pearson Prentince Hall.
Ringkasan Psikologi Sosial (bahan Kuliah).

Sumber Internet:
http://www.lintasberita.com/go/1507728. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.00 WIB)
http://groups.yahoo.com/group/arema-l/message/16590. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.30 WIB)


[1] http://www.lintasberita.com/go/1507728. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.00 WIB)
[2] http://groups.yahoo.com/group/arema-l/message/16590. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.30 WIB)
[3] Landasan teori ini bersumber dari buku: Shelley Thaylor, Peplau, dan Sears, 2006, Social Psychology, New Jersey: Pearson Prentince Hall. (hlm. 163-203-Bab PREJUDICE), diringkaskan.

M.A.W. BROUWER, OFM : KERLIPAN CAHAYA KERAPUHAN (Suatu percikan psikologis sang misionaris)


Pengantar
Judul ini bukanlah judul asli buku yang diringkas. Buku aslinya berjudul: M.A.W. Brouwer—Antara Dua Tanah Air: Perjalanan Seorang Pastor karangan Myra Sidharta[1] (teman dekat Brouwer). Judul tulisan ini sengaja dibentuk tidak sesuai dengan judul buku aslinya karena interese saya pada sisi psikologi Brouwer. Hal ini beralasan karena mereka, baik Brouwer maupun Sidharta adalah psikolog. Kerlipan Cahaya Kerapuhan mengajak kita untuk berpikir bahwa dari kerapuhan orang masih dapat memancarkan cahaya (kerlipan diartikan sebagai suatu cahaya yang indah). Perspektif ini diambil dari teori psikologi Alfred Adler yakni situasi inferioritas yang diubah menjadi suatu dominasi: dalam hal ini kesuksesan-kesuksesan dalam misi Brouwer. Paper ini lebih dari hanya sekadar otobiografi yakni sebuah pengamatan psikologis tentang pribadi Brouwer dan misi yang dibangunnya.

Kepribadian
Pastor Brouwer (selanjutnya hanya disebut Brouwer karena ia lebih dikenal sebagai psikolog dan kolumnis dibandingkan Pastor) dilahirkan di Delft pada tanggal 14 Mei 1923. Ia dilahirkan dari keluarga yang mapan karena memiliki Toko Daging yang ternama pada era itu. Beliau memiliki tiga saudara. Brower pada masa kecilnya adalah sosok yang mudah terserang penyakit dan lemah secra fisik[2]. Keadaan yang lemah itu membentuk beliau menjadi pribadi yang Symbiose (ketergantungan yang terus menerus kepada ibu). Hal ini tak terelakkan juga karena kondisinya yang lemah dan membutuhkan banyak perhatian dari orang tuanya, dan lagi ia di-anak emas-kan oleh ibunya.

Selain itu, Brouwer mendapatkan perhatian lebih juga karena impian ibunya akan masa depan anaknya yakni menjadi Pastor. Lazim waktu itu dalam konteks kehidupan masyarakat Belanda bahwa jabatan Pastor mengangkat derajat keluarga. Seiring dengan kebanggaan ibunya pada diri Brouwer, siklus symbiose semakin kuat. Tak jarang implikasi lanjutannya adalah Brouwer sakit-sakitan dan jarang dapat disembuhkan.
Symbiose teratasi ketika ia berhasil memisahkan diri dari ibunya dan bersekolah di suatu sekolah yang dikhususkan untuk calon pastor asuhan para Fransiskan. Dan pada tahap selanjutnya ketika ia memutuskan dirinya untuk bermisi ke Asia (China) namun karena masalah politik, impian itu tidak terwujud lalu akhirnya ke Indonesia. Tetapi nilai positifnya adalah bahwa semenjak dia hidup mandiri dan terpisah dari ibunya, segala penyakitnya sembuh dan tidak ada tanda-tanda kambuh (khususnya pada masa muda Brouwer). Kemandiriannya ditunjukkan pada sikapnya yang mau ikut berperang untuk melawan NAZI pada era pendidikan menengahnya. Namun ia tidak dapat terlibat membela tanah airnya, akhirnya ia hanya meratapi tetesan-tetesan darah pengorbanan sahabat-sahabat mudanya yang tertembak mati oleh tentara NAZI dan diarak di tengah kota.

Peristiwa bersejarah dalam hidupnya terjadi tanggal 17 Maret 1949, di mana kelompoknya menerima tahbisan suci sebagai Pastor Fransiskan di Gereja Weert. Setahun setelahnya ia berangat ke Tanah Misi yakni Indonesia. Pada bulan September 1950 beliau tiba di Indonesia sebagai misionaris[3].


Karya[4]
Brouwer menghabiskan masa karyanya di Indonesia dan ia sangat mencintai Indonesia terutama dataran Sunda, tempat ia berkelana dan menemukan spirit musafirnya. Berikut secara kronologis, akan dipaparkan karya-karyanya:

Pertama, awal kedatangannya di Indonesia, beliau langsung ditempatkan di Sekolah Mardi Yuana-Sukabumi. Di sini ia mengenal Sunda dan segala kebudayaannya dan belajar mencintai Sunda. Ia berkata:”Sunda diciptakan pada waktu Allah sedang tersenyum”. Ungkapan ini adalah refleksinya terhadap keramahan Sunda kepada dirinya. Sukabumi juga menyuguhkan alam yang indah yang tak pernah ia temukan di negeri asalnya. Ia bukan hanya sebagai Guru tetapi juga sebagai Bapak dari anak-anak didiknya.

Kedua, menjadi dosen, konsultan psikologi-klinis di UNPAD[5] dan UNPAR[6]. Sebelum berkarya di dua Universitas ini, beliau belajar Psikologi di Nijmen-Belanda. Ia terkenal dengan dosen yang ramah dan memiliki metode pengajaran yang humoris namun sistematis, dan tidak menyusahkan mahasiswa dengan penjelasan yang ngawur.

Ketiga, sebagai kolumnis dan penulis. Brouwer dikenal oleh khalayak Indonesia karena tulisan-tulisannya di KOMPAS. Beliau menulis banyak hal: kritik sosial, politik, perjalanan, dll. Banyak tulisan yang menarik simpati pembaca karena dikemas dengan bahasa humoris dan popular namun dengan isi yang sangat bermakna.

Keempat, sebagai pastor. Ketiga jenis karyanya di atas terkesan bergerak di dunia pendidikan, maka perlu dilihat juga beliau sebagai imam, gembala umat. Dalam kegiatan misinya, ia selalu mengunjungi umatnya di rumah mereka masing-masing. Inilah cara pendekatan pastoral Brouwer sehingga ia tidak disegani oleh umat sekitarnya.  Ia ramah dengan setiap orang yang ditemuinya, suka bercanda, menghargai orang lain. Ia sedemikian mencintai sejarah dan kebudayaan sehingga ia mempelajari banyak sejarah kebudayaan terutama Sunda. Sebagai imam Allah juga, ia mempelopori devosi Novena Besar Santo Antonius von Padua yang sekarang masih dipraktikkan di Paroki-paroki Fransiskan di Jakarta dan Bogor.


Situasi Batas: Kecemasan yang Mendalam
Krisis menimpa Brouwer ketika menginjak masa pensiun. Ia merasa diri kosong, lantaran keadaan fisiknya kurang sehat dan penyakit diare berikut ambeyen dideritanya beberapa tahun terakhir. Keadaan ini didukung oleh dua pilihan yang belum sempat diputuskan: antara dua tanah air yakni Indonesia atau Belanda sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Awalnya dia ingin dikuburkan di Indonesia jika meninggal, namun penderitaannya menghantarkan dia ke negara asalnya. Saat-saat akhir hidupnya, ia habiskan di biara Weert, tempat tahbisannya dahulu. Di balik diri yang periang dan penuh canda tawa, serta penuh kedamaian itu, Brouwer takut akan saat pengadilan terakhir.  Brouwer takut akan kematian dan merasa cemas akan situasi keterbatasannya.


Buah-buah Refleksi
Otobiografi singkat Brouwer ini, meski kurang detail namun dapat menginspirasikan banyak orang terutama para calon-calon misionaris. Bentuk misi Brouwer dapat dikatakan unik dan istimewa. Alasan keunikan dan keistimewaan inilah yang mendorong saya untuk memilih metode analisis psikologi terhadap karya misi Brouwer. Beberapa buah refleksi yang tertuang dalam poin-poin berikut kiranya dapat menjawab tujuan umum yang telah termaktub dalam bagian pengantar tulisan di atas.

Pertama, pembebasan symbiose, sebuah langkah awal gerakan missioner. Kemerdekaan Brouwer dari kungkungan proteksi sang Ibu memberikan positive value bagi keberlangsungan misinya. Kelekatan dengan keluarga terdekat menjadi nihil ketika kita dihadapkan pada gerakan misi. Seturut semangat Fransiskus, sang pendiri Ordo, ia telah menghayati kaul kemiskinan (hidup tanpa pemilik) terutama memiliki kenyamanan dari Ibu.  Dalam meneropong karya misi, seorang misionaris tidak terlepas dari latar belakang kehidupan pribadi.
Belajar dari kehidupan Brouwer, kita perlu mengolah seluruh aspek kedirian kita yakni problematika masa lalu kita. Pembebasan symbiose sungguh-sungguh adalah gerbang sukacita kehidupan Brouwer. Ia berjalan dan menekuni panggilan atas dasar otonomi pribadinya tanpa memandang kembali kehidupan masa lalu terutama keistimewaan terhadap dirinya oleh keluarga. Oleh karena itu perhatian formasi terhadap pengolahan sejarah hidup para fraters mendapat tempat.

Kedua, pasir yang diubah menjadi mutiara. Kalimat ini sejajar dengan judul tulisan ini; Kerlipan Cahaya Kerapuhan. Situasi inferioritas yang dialami Brouwer mampu diubah menjadi aktualisasi diri yang penuh dan berhasil dalam misi. Dalam kerapuhan, para misionaris mampu memancarkan sinar yang takkan sirna oleh perkembangan zaman.
Dalam kerapuhan kita memberikan sesuatu kepada daerah misi yang ditujui. Kita memberi dari kekurangan kita (spirit persembahan janda miskin). Melakukan misi bukan semata-mata kita memiliki kemampuan intelektual yang cemerlang tetapi karena kita menyadari panggilan kita dan mau berkomitmen serta setia menjalaninya. Melakukan dengan bebas jauh efektif dibandingkan jika tugas perutusan dipaksakan. Orang yang bermisi tanpa beban akan melahirkan banyak ide-ide kreatif dalam kegiatan misinya.

Ketiga, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Peribahasa ini cocok digelarkan pada Brouwer. Beliau sangat mencintai Sunda dan segala kebudayaannya. Amanat Paus Gregorius Agung yakni melarang penghapusan budaya setempat dan diganti dengan budaya yang dibawa misionaris, masih diberlakukan oleh Brower. Respek terhadap budaya setempat memudahkan jalinan tali silahturahmi. Aspek ini menjadi salah satu kunci kesuksesan misi.
Tanah Sunda yang kental dengan Islam-nya dengan begitu mudah dimasuki Brouwer. Kedatangan ke daerah misi selalu memakai prasyarat formula dialog persaudaraan sebagai senjata ampuh melunakkan hati kaum pribumi sehingga mereka respek terhadap orang asing.
Semangat dialog ini telah ditujukkan oleh sang Bapa  Fransiskus sendiri, ketika beliau datang ke Sultan Malek Al-Khamel di Maroko tanpa membawa pedang. Dalam bermisi, kita tidak dapat begitu saja melupakan semangat dasar ordo. Semangat Ordo kiranya membantu pribadi-pribadi dalam bermisi.

Identitas Buku:
Judul                         :           M.A.W. Brouwer: Antara dua tanah air: Perjalanan                                                       Seorang Pastor.
Jumlah hlm.               :           162 halaman
Penerbit                      :           Grasindo
Pengarang                  :           Myra Sidharta
Tahun terbit              :           1994



[1] bercerita tentang perjalanan hidup Brouwer sebagai seorang anak, imam (pastor), kolumnis KOMPAS, dll. Buku ini ditulis sebagai otobiografi Brouwer.
[2] Bdk. hlm.9-15.
[3] Hlm. 41
[4] Diringkas dari buku hlm. 41-112 (Bab IV-IX).
[5] Universitas Padjadjaran Bandung
[6] Universitas Katolik Pahrayangan-Bandung.

Kamis, 13 Juni 2013

DUA MINGGU BERSAMA YAMAHATO

Kesan Awal  Yamahato
Sekilas membaca judul di atas, mungkin pikiran kita langsung membayangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan negeri matahari, Jepang: entah orang, barang, tempat, dll. Yamahato sebenarnya adalah nama salah satu pabrik yang berada di daerah Jakarta Barat, tepatnya di Jembatan Lima (dekat Grogol). Hampir setiap produk atau pun segala sesuatu yang berhubungan dengan pabrik ini bertuliskan YAMAHATO (Safety Shoes). Jelas bahwa pabrik ini berkecimpung dalam dunia per-sepatu-an. Pabrik ini memproduksi sepatu kerja untuk Perusahaan Kereta Api Indonesia, pertambangan Freeport, dll. Selain itu, produknya digunakan juga oleh beberapa Ikatan Persekutuan SATPAM di Jakarta dan sekitarnya. Dengan demikian, kita memiliki gambaran model  sepatu yang diproduksi.

Selama dua minggu (dari tanggal 20 Juni-2 Juli 2011) ketiga saudara diutus untuk menjalankan kerja liburan di Yamahato, sebut saja sdr. Berto, sdr. Yornes, dan sdr. Pephit (*nama yang sebenarnya). Kami adalah angkatan ke-4 yang menghabiskan waktu kerja liburan di sana setelah dirintis oleh sdr. Andre Bisa dan Mas Theo Beta diikuti pasukan sdr. Hans[1], cs, lalu sdr. Ryan Dagur, cs.
Memasuki kawasan pabrik, secara apriori saya dapat merasakan betapa beratnya menjalani hari-hari hidup di sini. Selain waktu kerja yang padat, kondisi penginapan yang special kuli turut memperkuat dugaan sementara saya. Memang benar, bahwa hari-hari kami di perusahaan ini diisi dengan perjuangan yang tak kalah hebatnya dengan perjuangan para pejuang kemerdekaan '45.


Hari-hari bersama Yamahato
Pada bagian ini, saya akan mengelompokkan pengalaman saya dalam dua bagian yakni, pertama: pengalaman perjumpaan dengan karyawan/ti Yamahato dan kedua: nilai sebuah usaha.

Perjumpaan dengan karyawan-karyawati Yamahato. Rata-rata umur karyawan/ti di Yamahato berada pada rating kepala 3 ke atas, alias umur 30-an tahun ke atas. Dari rata-rata itu, hanya 25% berjenis kelamin laki-laki. Selebihnya wanita yang berstatus janda dan wanita lanjut usia. Pengalaman kerja mereka di sana pun minimal 2 tahun sampai 13 tahun. Bisa dibayangkan semangat kerja dan profesionalitas mereka dalam menangani bidangnya sangat jauh berbeda kualitasnya dengan kami yang baru memulai makan garam. Saya merasa minder dan merasa bodoh berhadapan dengan mereka, yang dinamika kerjanya sudah begitu matang. Saya berpikir jangan-jangan kehadiran saya menghambat laju kerja dan kreativitas mereka.  Memang benar, suatu kali saya melakukan kesalahan yang fatal dan mendapat teguran keras dari Bos. Padahal kesalahan itu, menurut saya, sangat kecil yakni soal kedalaman tancapan paku pada sol sepatu. Saya menancapkan paku terlalu dalam, mungkin saking semangatnya kali ye... Selain itu, beberapa mesin produksi mengalami kerusakan. Untunglah mereka bisa memahami bahwa saya masih pemula dan dalam proses belajar pengenalan mesin-mesin.

Dari karyawan/ti ini saya belajar untuk bekerja keras tanpa mengenal lelah dan saling membantu. Tak ada satu bagian pun yang dibiarkan kosong. Tak ada pembatasan tegas antara tugasku dan tugasnya. Yang diperhatikan adalah tugas kita yakni target jumlah produksi sehari. Jika pesanan mencapai 7500 pasang, maka sehari harus mampu memproduksi minimal 500 pasang sepatu dengan jumlah karyawan yang hanya 30 orang. Tidak mengherankan jika jam kerjanya padat, 8-10 jam sehari dengan waktu istirahat hanya satu sampai satu setengah jam untuk makan dan menarik nafas guna membuang peluh keletihan.


Nilai sebuah Usaha. Bagi kita mungkin kerja ini berat dan lebih baik ditinggalkan saja, toh upahnya juga gak seberapa. Saya pun memiliki anggapan seperti ini. Bagi para karyawan/ti Yamahato tidak seperti itu. Poros utama kehidupan ekonomi mereka berada di sana. Dengan upah yang jauh di bawah rata-rata itu, mereka masih mampu menghidupi keluarganya. Memang kebanyakan yang bekerja di sana adalah saudara-saudara kita yang berasal dari lapisan bawah (*iyalah,,, namanya juga buruh kasar).

Nilai usaha memang identik dengan upah yang didapat. Tapi di sini, usaha juga dilihat dari perjuangan melawan sdr. Nyamuk yang kerap malam setia menemani kami di mess, tempat penginapan. Sebuah Mess yang berada di belakang pabrik yang sudah ditumpuki barang-barang bekas sisa produksi, ditunjuk sebagai penginapan special selama 2 minggu berada di sana. Ibarat domba diutus ke tengah serigala, kami memasuki sarang nyamuk yang telah lama tak mendapatkan darah muda.

Kiranya kedatangan kami disambut hangat, silih berganti mereka setia mengunjungi kami dan tak sedikit mengais rejeki pada saudara keledai. Alhasil, lama kelamaan saudara keledai pun kehilangan stamina. Kami kesulitan meladeni saudara kita yang memiliki banyak waktu terbang pada malam hari ini. Kadang kami hanya tidur ayam[2] saja, dengan selalu menyiapkan Obat Nyamuk HIT Semprot di tangan. Sasaran semprotan yang dituju pun secara refleks dilacak. Meski setengah sadar, arah semprotan tetap fokus ke arah sekitar bunyi lintasan sang nyamuk. Hal yang menarik di sini adalah melatih sikap selalu siap sedia dan berjaga-jaga. Lebih dari itu, baru kali ini kami mengalami tidur dengan setengah sadar. Sungguh, zona nyaman saya terenggut. Selama ini saya sering tertidur pulas dengan fasilitas yang awesome... Yah, pulas tanpa sadar. Memang, meninggalkan kenyamanan fasilitas di rumah butuh penyesuaian dan pengorbanan. Kardus kami sulap jadi kasur sedang ransel dialihfungsikan menjadi bantal. hasil sulapan ini tentu saja tidak mendukung kenyenyakan tidur kami.  Di sini dan kini, kami harus bertahan dan menjalankan setiap aktivitas dengan sukacita. “Wowwhat amazing experience we’ve done…”, celetuk sdr. Yornes dengan logat Jembatan Serong-nya.


"Dempul wuku, tela toni…."
Ungkapan yang  berasal dari Manggarai-Flores ini tepat untuntuk menjelaskan arti kata kerja keras. Ungkapan di atas memang memiliki nuansa bercocok tanam. Kata dempul wuku berarti kuku tangan yang tumpul karena menyiang rumput di ladang atau sawah dan tela toni artinya pecahnya kulit punggung akibat sengatan matahari. Dempul wuku dan tela toni merupakan konsekuensi yang harus diterima dalam mengejar hasil yang maksimal. Artinya denga ungkapan ini, masyarakat disadarkan bahwa begitu besarnya pengorbanan kita untuk mendapatkan hasil pertanian yang maksimal dan memuaskan. Celaka, jika kita mendapatkan hasil dengan hanya bersantai-santai saja.

Ungkapan ini memiliki makna yang luas, pun mencakup segala macam bidang usaha baik pertanian, perkebunan, pabrik, studi, dll.  Kesuksesan selalu harus dibarengi dengan kerja keras dan pengorbanan yang tiada bandingnya. Untuk mencapai hasil produksi yang sesuai dengan target, semua personel perusahaan harus bekerja keras dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.  ^__^




[1] Sekarang menjalankan masa studi lanjut program Diakonat di STF Driyarkara
[2] Tidur dengan setengah sadar.