I.
Pengantar
Dunia persepakbolaan Indonesia sungguh
berbeda dari model sepak bola Eropa. Banyak aspek yang menjadi titik perbedaan
antara keduanya, terutama kualitas permainan dan aksi para suporter. Di
Indonesia, aksi para suporter ini sering mendapat perhatian dari media maupun
masyarakat. Tidak jarang sorotan ini muncul karena aksi-aksi mereka yang kadang
disertai dengan tindakan anarkis baik dalam stadion maupun di luar stadion.
Ulah di luar stadion sering menjadi penyebab berbagai masalah, misalnya
kemacetan lalu lintas, berbagai macam kerusakan, dll.
Salah satu kelompok suporter bola di
Indonesia yang menjadi kelompok sentral adalah The Jakmania. The
Jakmania adalah kelompok suporter klub bola kaki PERSIJA (Persatuan Sepak
Bola Jakarta). Kelompok suporter bola ini sudah dikenal seluruh
masyarakat Indonesia karena kerusuhannya. Media, baik cetak maupun elektronik
sering mengekspose berita-berita tentang ulah-ulah yang dilakukan
The Jakmaniamania. Kerusuhan yang terjadi
memiliki latar belakang yang berbeda, misalnya faktor kekalahan, diserang, atau
pun ingin membuat keributan. Sehingga, kerusuhan terjadi kadang bukan hanya
antara
The Jakmaniamania dengan kubu dari luar (suporter PERSEBAYA
“Bonek”, PERSIKABO-Bogor, PERSIB-Bandung, dll) tetapi juga kadang terjadi
kerusuhan antara
The Jakmania sendiri. Paper ini tidak akan mengulas
kerusuhan yang terjadi di antara
The Jakmania sendiri, melainkan
kerusuhan
Jakmania dengan
kubu-kubu dari luar.
Ada
beberapa alasan dipilihnya kerusuhan The Jakmania sebagai contoh kasus. Pertama,
kerusuhan ini melibatkan dua kelompok besar. Konflik antara dua kelompok
ini menarik karena terjadi dalam beberapa periode, hampir setiap tahun dalam
setiap pertandingan terjadi kerusuhan. Perseteruan antara dua kubu merupakan
fenomena yang menarik untuk dianalisis sebagai suatu gejala psikologi sosial. Kedua,
faktor kedekatan tempat tinggal penulis dengan The Jakmaniamania turut
menjadi motivasi untuk menganalisis fenomena psikologi tersebut.
Berkaitan
dengan hal ini, penulis mengambil teori prasangka (prejudice) sebagai
acuan analisis. Teori prasangka ini kiranya dapat memberi pendasaran mengenai
penyebab atau alasan terjadinya berbagai macam kerusuhan antara The Jakmania
dengan kubu-kubu lain. Penyebab terjadinya kerusuhan tentu dilihat dari sudut
pandang psikologi sosial. Pemilihan teori prasangka sebagai acuan pun tentu
memiliki pertimbangan khusus. Melihat perseteruan melibatkan dua kelompok besar
dan intensitasnya yang constant (terjadi setiap tahun), maka penulis melihat
ada sesuatu yang mendasar yang sudah menjadi kekhasan dalam kubu atau kelompok
tersebut.
II.
Ilustrasi atau Ringkasan Kasus
Berikut
disajikan dua kasus yang berkaitan dengan kerusuhan yang melibatkan The
Jakmania:
Pertama, di Bogor. Tawuran antar suporter
terus terjadi. Kali ini melibatkan suporter Persikabo dengan warga Bogor
pendukung Jakmania. Bentrok antara kedua kubu terjadi di wilayah Nanggewer,
Kecamatan Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Akibatnya seorang warga setempat terluka
Pantauan di lapangan, Jumat (3/12/2010) sore, tawuran terjadi saat ratusan
suporter Persikabo melintas di Jalan Raya Bogor, tepatnya di Nanggewer, Kecamatan
Cibinong. Motif tawuran ini belum jelas karena dua kubu langsung terlibat dalam
aksi lempar-melempar batu.
Kedua, di Jakarta. Menyusul
kekalahan Persija, The Jakmaniamania berbuat rusuh usai pertandingan. Suporter Persija ini membakar spanduk, merusak sejumlah
kendaraan motor dan fasilitas penerangan di sekitar stadion Gelora Bung Karno.
Mereka juga melempari polisi dengan batu dan botol. Untuk mengendalikan
keadaan, polisi menyemprotkan air bertekanan tinggi ke arah para pendukung
Persija. Setelah perlawanan mereda, polisi mengejar para pendukung Persija
hingga ke luar stadion. Namun, bentrokan kembali terjadi. Sejumlah suporter
yang diketahui berbuat kerusuhan akhirnya ditangkap polisi.
Telah
dikatakan sebelumnya bahwa dalam menganalisis kasus yang telah dilampirkan,
dipakai teori prasangka. Prasangka, menurut Allport (dalam Mar'at, 1981) adalah
ekspresi sikap prasangka melibatkan peranan-peranan negatif seperti misalnya;
penghinaan, ketidaksukaan, kebencian yang kesemuanya menunjukkan sikap antipati.
Secara umum ada dua bagian penting dalam
teori prasangka yang menurut saya berhubungan langsung dengan kasus di atas.
Kedua bagian itu adalah: mempelajari prasangka dan motif-motif untuk prasangka.
Selanjutnya akan diulas lebih spesifik bagian-bagian tersebut dalam hubungannya
dengan kasus yang telah disajikan.
3.1.
Mempelajari Prasangka. Pembentukan
prasangka memiliki tahap-tahap dalam prosesnya. Prasangka bukanlah sesuatu yang
dilahirkan (sebagai kodrat manusia) tetapi suatu hal yang dipelajari (dapat
melalui lingkungan dan kebiasaan). Dua faktor utama pembentuk awal prasangka
adalah sosialisasi dan (peran) media.
3.1.1. Sosialisasi
Anak-anak
tidak dilahirkan dengan stereotype dan prasangka. Mereka mempelajarinya dari
keluarga, kerabat, media, dan masyarakat di sekelilingnya. Hal inilah yang
disebut sebagai sosialisasi. Sosialisasi mengacu kepada proses bagaimana
anak-anak mempelajari norma-norma sosial konvensional atau tradisioanal dalam
masyarakat. Dalam proses sosialisasi inilah anak-anak belajar tentang
norma-norma sosial kemasyarakatan. Adapun mekanisme belajar yang kerapkali
dipakai oleh anak-anak dalam proses itu adalah sebagai berikut.
ü Imitasi (meniru apa yang dilakukan orang
dewasa).
ü Reinforcement (penguatan). Seorang anak
mendapat penguatan ketika dalam masyarakat atau kelompok kecil seringkali
diceritakan tentang hal-hal tertentu yang bersifat menghina kelompok lain.
ü Asosiasi. Anak-anak sudah mengasosiasi
suatu hal negatif dengan kelompok-kelompok tertentu.
Prasangka seringkali
dipelajari pada tahap-tahap awal dalam hidup. Orangtua dan kerabat
bertangungjawab dalam upaya menanamkan norma sosial. Orangtua memegang peranan penting dalam pemahaman
prasangka pada anak-anak.
3.1.2. Media
Media merupakan representasi dari
sumber-sumber yang potensial dalam pembelajaran sosial khususnya bagi
anak-anak. Beberapa dekade lamanya, ras minoritas hampir pasti jarang terlihat
di media-media masa. Televisi juga cenderung memberitakan untuk menguatkan
stereotipe bahwa ras minoritas erat kaitanya dnegan kriminal.
3.2. Motif-motif Prasangka. Ada dua macam motif
prasangka yakni pendekatan psikodinamis dan kompetisi dalam kelompok. Pendekatan psikodinamis tidak mendapat tempat
yang banyak dalam paper ini karena kurang berhubungan langsung dengan kasus
yang disajikan. Sebaliknya, kompetisi dalam kelompok menjadi prioritas, karena
telah diutarakan dalam bagian pengantar bahwa kerusuhan yang terjadi melibatkan
dua kelompok besar. Kedua motif tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan
Psikodinamis yang terdiri dari Displacement Aggression dan Authoritarian
Personality
2. Kompetisi
dalam Kelompok. Gagasan motivasional lain adalah prasangka merupakan bagian
dari persaingan kelompok. Hal ini bermula dari anggapan bahwa masyarakat
merupakan komposisi kelompok-kelompok yang berbeda dalam kekuatan, sumber
ekonomi, status sosial, dan atribut-atribut lainnya. Kelompok yang dominan
dimotivasi untuk menolak adanya ketimpangan. Persaingan menghasilkan konflik antar-kelompok yang selanjutnya saling
berprasangka. Ada beberapa versi teori yang mengulas hal ini.
ü Konflik
kelompok yang realistis. Teori kelompok yang realistis memandang prasangka
sebagai konsekuesi persaiangan yang tak terelakkan di antara kelompok yang
lebih berkuasa. Teori ini berargumen
bahwa ketika dua kelompok berada dalam suatu persaingan, mereka akan saling
mengancam. Hal ini
menciptakan perseteruan di antara mereka dan menghasilkan evaluasi negatif yang
timbal balik. Jadi, prasangka merupakan konsekuesi dari konflik nyata untuk
memperebutkan sumber-sumber yang diinginkan dua kelompok.
ü
Deprivation
Relatif. Ketidakpuasan
oleh karena keyakinan bahwa salah satu kelompok sudah berhasil daripada yag
lain. Teori ini melihat prasangka sebagai reaksi terhadap frustrasi yang
nyata. Tetapi kadang-kadang orang menghayati bahwa mereka dihalangi oleh yang
lain, meskipun dalam kenyataannya mereka sesungguhnya mampu melakukannya dengan
baik.
ü
Sense of Group Posession (Perasasan
rasa memiliki dalam kelompok). Kelompok bekerja secara aktif untuk
melindungi status istimewa dan segala penghasilannya atau kepemilikanya dan
menentang adanya subordinasi dari kelompok lain.
ü
Teory dominasi sosial. Teory ini
berasumsi bahwa kelompok-kelompok dalam masyarakat bertujuan untuk diatur dalam
hierarki-hierarki, dengan beberapa kelompok berada di atas dan yang lain di
bawah. Hierarki ini pertahankan melalui diskriminasi, mengesahkan mitos, dan
usaha-usaha individu yang tertinggi dalam dominasi orientasi sosial.
IV. Analisis
Kasus
Melihat
kedua kasus di atas, penulis mencoba mengidentifikasikannya dari sudut teori
prasangka. Aksi-aksi anarkis yang seringkali dilakukan The Jakmania
bukanlah suatu tindakan spontan. Tindakan itu memang berakar dalam kelompok The
Jakmania sendiri dalam membentuk streotipe yang selanjutnya membangun suatu
prasangka tertentu terhadap kelompok lain. Mengingat prasangka tersebut tidak
lepas dari unsur-unsur negative yang menyertainya dan juga sarat emosi, maka
tindakan anarkis muncul dari situas itu. Berdasarkan teori-teori di atas, ada
dua hal pokok yang ingin dikemukakan
yakni: “regenerasi” The Jakmania
dan persaingan antar kelompok.
Pertama, “Regenerasi”
The Jakmania.
Kelompok
supporter Persija ini akan tetap eksis dan generasinya tidak akan habis (sejauh
PERSIJA juga masih menjadi klub sepak bola). Hal ini didasarkan pada adanya
kegiatan “regenerasi” (secara tak sadar) terhadap anggota The Jakmania.
Dikatakan “regenerasi” tak sadar karena supporter Persija meliputi orang-orang
dari berbagai umur. Anggota-anggota mereka terdiri dari anak-anak usia SD
sampai orang dewasa. Tidak jarang juga anak-anak kecil ini ikut bergabung dalam
pawai-pawai akbar The Jakmania ketika Persija bertanding.
Pada
saat anak-anak ini bergabung dan berkumpul dengan The Jakmania yang
lainnya, mereka mulai mempelajari prasangka. Pada tahap awal, anak-anak itu
bergabung bersama The Jakmania, ia masih melakukan sosialisasi tahap
awal yakni imitasi dan reinforcement. Menambuh genderang di atas Metromini sampai aksi
lempar-melempar batu seperti yang terjadi di Bogor, mulai ditiru anak-anak.
Selanjutnya, mendapatkan penguatan dari cerita-cerita anggota lain yang
menjelek-jelekkan suporter lain turut membentuk prasangka si anak. Pada
akhirnya, ia sudah memiliki prasangka sendiri tentang suporter klub lain, dan
mulai mengasosiasikannya. Misalnya, ketika mendengar kata PERSEBAYA, yang ada
dalam pikirannya adalah musuh dan harus dilawan, karena BONEK (suporter
PERSEBAYA) dikenal anarkis. Atau lebih luas dikatakan bahwa, ketika mendengar
klub bola lain, pihak yang berprasangka menganggap itu sebagai musuh.
Selain itu, peran media juga turut
mendukung proses pembentukkan prasangka. Seringkali media, baik media masa
maupun elektronik, mengekspos berita-berita kerusuhan yang dilakukan The
Jakmania. Pemberitaan seperti ini turut mendukung terbentuknya kepemilikan
identitas terhadap Persija. Berita media yang selalu mengabarkan sisi
negatif The Jakmania dapat juga
dijadikan wahana pembentuk identitas mereka sendiri. Mereka berpikir bahwa kerusuhan
itulah yang menjadi identitas The Jakmania.
Kedua, Persaingan antar-kelompok.
Kelompok Jakmania memang memiliki
stereotipe sendiri tentang kelompoknya. Ada kekhasan yang mendorong mereka untuk merasa super dalam segala hal.
Mereka memiliki anggota yang banyak, anak ibukota (negara). Selain itu, klub
yang didukung mereka pun tidak jarang berada pada posisi atas klasemen dalam
partai-partai Liga. Secara umum dapat dikatakan bahwa The Jakmania
sebenarnya mempunyai nama besar dalam dunia persepakbolaan Indonesia.
Sementara kelompok lain seperti BONEK, suporter PERSIB (Bandung), atau
PERSEMA, dll belum tentu mengakui keistimewaan dan kebesaran mereka. Sebab
dalam persepakbolaan, mereka juga memiliki gelar dan suporter yang sama besar
seperti The Jakmania. Sehingga persaingan untuk memperebutkan harga diri
dan gengsi-lah yang menyeret kedua kelompok ke dalam kerusuhan yang tak
terelakkan.
Selain itu, pada kasus yang kedua di atas,
dinyatakan bahwa kerusuhan bermotifkan pembakaran spanduk dan pengrusakan
sepeda motor di Stadion Gelora Bung Karno. Alasan kerusuhan adalah kekalahan yang diterima
oleh PERSIJA dari PERSEMA (Malang). Tindakan ini sebetulnya suatu tindakan
pengalihan (Deprivation Relatif) karena suporter tidak mengetahui
lagi siapa yang menjadi sasaran kemarahan mereka. Mereka tidak mungkin
menyerang para pemain PERSIJA yang bermain kurang optimal dalam menjamu
PERSEMA. Hal ini masih berkaitan erat dengan persaingan kelompok di atas sebab anggota
The Jakmania yang sudah merasa memiliki PERSIJA, merasa kehilangan harga
dirinya.
Peristiwa kekalahan ini menyentuh sisi
sensitivitas kelompok Jakmania yang mempunyai nama besar. Orang yang
sudah merasa memiliki kelompok tertentu (Sense of Group Posession),
akan membela kelompoknya apabila kelompoknya terancam. Dalam sejarah
persepakbolaan Indonesia, para suporter, tak terkecualikan PERSIJA, memilik
rasa fanatik yang tinggi terhadap klub andalannya. Pribadi-pribadi dalam
kelompok itu pun pasti mempunya respek terhadap klub yang didukungnya dan ia
menilai klubnya sangat istimewa (seperti tak ada tandingannya lagi). Pada saat
keistimewaan itu tergusur oleh kekalahan dari klub lain, maka ia membela rasa
kekalahan dengan jalan tindakan anarkis atau kerusuhan.
V.
Tanggapan
Tindakan kekerasan dalam dunia persepakbolaan di
Indonesia memang sulit untuk diakhiri. Hal ini bukan sebatas masalah adanya
kekerasan atau tidak tetapi memiliki suatu corak multiproblematis. Hal yang
telah dipaparkan merupakan tindakan kerusuhan yang dilakukan oleh The
Jakmania dari perspektif Ilmu Psikologi Sosial (khususnya teori Prasangka).
Kerusuhan sudah sering terjadi dan hampir tidak bisa dikendalikan lagi, karena
sudah menjadi kebiasaan umum kelompok-kelompok suporter bola khususnya suporter
PERSIJA. Kerusuhan ini tentu berpengaruh buruk terhadap masyarakat luas
khususnya penduduk kota Jakarta. Pengaruh buruk itu tampak dalam terganggunya
keamanan masyarakat juga menyangkut anak-anak yang terlibat dalam organisasi magnum
”the Jakmania”.
Sudah banyak langkah praktis yang ditangani oleh
pemerintah. Salah satu langkah praktis itu adalah meningkatkan kualitas
penjagaan pawai-pawai akbar para supoter selanjutnya memantau dan
menindaklanjuti segala kerusuhan di stadion atau pun di luar stadion. Hal ini
memang berada pada tahap legalitas, yakni meningkatkan keteraturan hukum
keamanan.
Dari sudut psikologi sosial, pembentukan prasangka
bisa diatasi sejak dini. Dalam kasus aktual kerusuhan The Jakmania dan
eksesnya bagi masyarakat umum, terutama anak-anak, diharapkan perlu
pendampingan orang tua secara intensif terhadap anak. Pendampingan intensif ini
dilakukan khususnya ketika anak berada pada umur-umur sosialisasi. Anak perlu
dididik untuk tidak mengikuti organisasi yang berpotensi merusak mental anak
sendiri. Perlu pengarahan sejak dini. Relevansinya, terdapat pada pendidikan
nilai yang harus diberikan kepada anak oleh orang tua ataupun lingkungan.
Selain itu, perlu adanya keseimbangan pemberitaan media.
Di Indonesia, memang ada undang-undang kebebasan pers. Hal ini bukan berarti
pers sebebas-bebasnya dan tidak memperhatikan efek pemberitaan itu sendiri. Justru hal ini yang sering tidak
diperhatikan. Pemberitaan pers (misalnya soal kerusuhan atau kekerasan ), di
satu sisi, mungkin bercorak ekonomis karena banyak diminati khalayak sehingga
mendatangkan keuntungan. Di pihak lain, dari segi psikologi, pemberitaan itu
akan berakibat pada psikologi seseorang atau kelompok tertentu. Oleh karena
itu, perlu adanya suatu keseimbangan dalam pemberitaan. Hal ini mengandaikan
dalam dunia pers sendiri terdapat filtrasi berita yang sangat ketat dan bersih.
Daftar Pustaka:
Bacaan Utama:
Thaylor Shelley, Peplau, dan Sears, 2006, Social
Psychology, New Jersey: Pearson Prentince Hall.
Ringkasan
Psikologi Sosial (bahan Kuliah).
Sumber
Internet:
Landasan teori ini bersumber
dari buku: Shelley Thaylor, Peplau, dan Sears, 2006, Social Psychology,
New Jersey: Pearson Prentince Hall. (hlm. 163-203-Bab PREJUDICE), diringkaskan.