Pukul
15.45, handphone bergetar. 1 message received. Biasa, dari wanita
idaman yang SEJAK LAMA kunobatkan sebagai cinta pertama. Dalam nomor kontak,
tertulis namanya: “Aaaaa @ mama”.
Setiap kali dikirimi SMS oleh someone
special ini, seringkali saya enggan berlama-lama dan pasti bersemangat
untuk segera membacanya. Sebab, dalam SMS-nya tak lupa ia senantiasa selipkan
wejangan penyemangat agar tak lupa mendekatkan diri kepada Sang Empunya
Kehidupan. Sedikit mendidik dan religius, tentu saja.
Bunyi
SMS-nya begini:
“Selamat sore Kraeng, neka hemong ngaji
latang’t weta ata cucu. Ai diang de genap enem ntaung hia lako ngger le Surga.
Eme toe de, ho’o wa’u sekolah hia ga. Nana, aku leng nuk hi enu Eta dite ye…”
(Mungkin
begini terjemahan bebasnya: “Selamat sore, Mas. Jangan lupa doakan arwah si
bungsu. Karena esok genap enam tahun ia berziarah ke Surga. Kalau tidak,
sekarang dia sudah masuk Sekolah Dasar. Mas, mama rindu nona Eta kita…..”)
Bahasa
yang sangat sederhana, miskin ngalor-ngidul, To the Point. Tak salah ia memilih bahasa Manggarai untuk
menyampaikan pesan ini. Bahasa sederhana, tradisional, namun mampu menyentuh
lubuk hati terdalam. Sebab, aku dahulu lahir dari pemilik rahim yang berbahasa
tradisional itu. Ternyata, bahasa turut memengaruhi psikis.
Untuk
Mama, kutaruh rasa simpatik yang penuh. Seorang wanita bertaburan sedikit
helaian uban pada mahkota kepalanya sedang mengenang kepergian buah hatinya.
Eta adalah salah satu buah tubuhnya yang telah pergi enam tahun silam. Untuk
mereka yang pergi selamanya dan bukan buah tubuhku, aku butuh waktu melepas
mereka dalam ketulusan. Bisa jadi, selepas enam tahun, Ibu belum menemukan ketulusan
dalam melepaskan. Itulah alasan mengapa aku memberikan rasa simpatik dan empati
yang maksimal.
Saat
ini, aku paham bahwa Ibu sungguh memiliki buah tubuhnya. Buah tubuhnya adalah
tubuhnya. Tentu Ibu tak sudi jika tubuhnya atau sebagian hatinya pergi dan tak
pernah kembali. Buah hatinya pasti tak tergantikan. Memoar-memoar indah bersama
buah tubuhnya cukup menjadi pereda pilu kepedihan selepas kepergian. Tapi ini
tak abadi, kehilangan tetaplah kehilangan.
***
SMS
senja ini cukup mencuri perhatian. Selanjutnya, aku terhanyut dalam kenangan
pilu 2007 lalu—saat mendengar berita kepergian si bungsu—. Kala itu aku sedang
menjalani masa postulat Fransiskan di kota Gudeg, Jogjakarta. Sembari
mengenang, kuraih kembali diari edisi lama, tampaknya kumal dan dekil. Mungkin
karena kurang diakrabi. Masih tercatat rapih sederet kata pisah untuk dia yang telah
pergi sebelum fajar merekah di ufuk timur. Benar, ia yang tak pernah kujumpai,
telah tiada.
Jogja,
28 September 2007
Kemarin,
27 September, tepat pada peringatan Santo Vincentius a Paulo. Ingin ku-tari-kan
pena biru di atas lembar bergaris. Tapi aku belum mampu putuskan, entah huruf
pertama apa yang akan kulukis dalam memulai kisah sendu kepergian si bungsu.
Bahkan, sore kemarin, kubuka diari ini tanpa ingin menulis. Berjam-jam
kubolak-balikan lembaran-lembaran ini. Sepertinya, pikiran dan jari belum
sepakat menentukan tujuan.
Sekarang,
aku sedikit tenang untuk merangkai deretan kata pisah:
Perasaan
ini sangat dalam,,,,,,
Dikau
datang tanpa mengenal dunia,
pun
pergi dengan tidak sempat memahami dunia.
Datang
dan pergi ibarat bayang yang tak mampu kurangkul.
Hanya
sedikit mampu bergumam: “Engkau pernah ada—di antara kami—“
Kehilangan
yang mendalam,,,,,,,
Terbayang
kini,
jika
musim kemarau tiba pasti aku kembali, sejenak.
aku
sangat lemah dalam menahan tangis,
saat
menemukanmu dalam wujud pusara.
Dengan
tulisan “ R I P ” pada bentangan salib
yang
mereka letakkan pada ujung atas jenazahmu,
mudah-mudahan
cukup meyakinkankan diriku jika kepergianmu sungguh
MENDAMAIKAN…
Requiescat
in Pacem: Adik Vincentia
Marietta Ngabur….
***
Akhirnya,
kami senantiasa sadar bahwa memang kepergianmu sungguh mendamaikan. Damai dalam
segala hal. Terima kasih dan syukur karena pernah hadir—di antara
kami—senantiasa.
GOD,
I miss her so damn !!!