Kamis, 03 Februari 2011

SANG MUSAFIR MENCARI PENCERAHAN JIWA . . . . .(1)


Di sudut sebuah kamar mungil, aku duduk termangu, merenung kembali segala kisah dan kasih yang kami rajut dan nikmati bersama sepanjang hari ini. Detak detik jam dinding terdengar nyaring nyaris mengisi segenap kesenyapan malam. Sudah pasti saudara-saudaraku yang lain sudah tengah menari indah di tengah tebaran bunga malamnya, pikirku. Dan sang penghitung waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB. Kesenyapan malam mendorong aku untuk meraih diary lusuh yang sering kugauli siang dan  malam  kala jiwa mulai galau. Aku tergoda untuk me-nari-kan pena biru pada diary itu,, yah …aku  mengambilnya dan  mulai berkisah……
Sungguh tak kubayangkan, bahwa aku sudah  berada di atas sebuah  bukit yang banyak ditumbuhi pohon cemara. Di antara pepohonan berwarna coklat tua, tetumbuhan menjalar berlomba-lomba menghiasi  sosok pohon yang gagah itu. Semua terasa hijau. Hampir aku melupakan seluruh isu global warming yang gencar diwacanakan setiap  insan kala menggeleti kerumunan  ibukota. Seakan-akan aku berada di masa silam ketika manusia bersahabat dengan alam, ketika sosok berakal-budi menjalin kasih dengan segenap ciptaan. Tak ada permusuhan, tak ada pertengkaran. Yang ada hanya perdamaian, yah…perdamaian  jiwa yang berada dalam ragaku yang  duduk bersimpuh..
Perdamaian jiwa, kenyamanan hati, dan pikiran bebas sedang menemukan eksistensinya justru saat raga berada tepat di bawah kaki palang penghinaan, salib Tuhan yang tertancap gagah di atas sebuah lantai semen. Sejenak aku mengingat kembali drama tragis yang telah dilakonkan Sang Guru Agung 2011 tahun silam. Di tengah keramaian masa yang meneriakan “SALIBKAN DIA !!”, sungguh sang Guru menimba kesunyian jiwa karena raga yang lusuh akan dikorbankan di atas puncak Via Dolorosa. Kembali aku bertanya: apakah sang Guru melakonkan adegan tragis itu karena dosa manusia atau karena Cinta Kasih-Nya yang besar terhadap manusia? Sengaja tak kupikirkan dalam2 peristiwa itu karena ini bukan bangku kuliah STF Driyarkara..
Di bawah teriknya mentari yang tak pernah bosan menyengati kulit hitam manisku, tak putus-putusnya aku berusaha merangkul jiwa yang gelisah, yang meronta ingin meninggalkan raga yang rapuh. Sungguh, entah  karena apa, aku tak  tahu, tiba-tiba aku begitu gelisah. Gelisah akan masa depan yang begitu tak pasti seiring terpampangnya hambatan yang tak akan sirna mengisi hari hidupku secara silih berganti. Kegelisahan tentang kebahagiaan  masa lalu yang  tak mungkin terulang kembali di masa depan, kegelisahan karena setiap peristiwa perjumpaan dan perpisahan  yang memilukan hati. Yah,,, inilah litani-litani kegelisahan yang sedang mendera jiwa, Kegelisahan tanpa putus, bersambung dari  satu  episode  ke  episode  berikutnya.
Dalam keheningan dan kebisuan  hati, kucoba lantunkan kata per kata, bait per bait, dan akhirnya rentetan untaian doa yang tak kususun secara rapi lantas seluruh jiwaku tercabik-cabik tajamnya rasa gelisah yang sedang mendera. Kebisuan hati mendorong sang otak untuk memutar kembali memoar kelabu tentang semua kisah dan kasih masa lalu. Rekaman tak sempurna itu cukup memberikan keterangan pasti tentang jatuh dan bangunnya mencari identitas diri. Kurasa, masih banyak yang belum kulakukan padahal seharusnya itu dilakukan. Masih separuh tugas mulia yang harus dibereskan tapi aku tak ayal membereskannya. Tidak sedikit juga akhirnya ditelantarkan, yah sungguh rekaman yang menyisakan duka lantas merasa diri kurang sempurna.
Di penghujung untaian doaku, aku  hanya mampu berkata kepada Yang Tersalib: Sungguh jalan ini tidaklah mudah  seperti yang dipikirkan mereka yang tidak pernah melaluinya. Mereka berpikir bahwa hidup ini adalah suatu keistimewaan Keselamatan Surgawi yang terlihat. Tidak mengherankan kalau segala harapan mereka diletakkan di atas pundak kami, doa mereka  selalu berujud demi ketegaran kami dalam mengarungi samudera panggilan yang tak akan berlabuh pada sebuah bibir pantai. Dia akan mengembara ke mana angin berhembus dan mencoba menantang setiap badai yang menghadang untuk mencapai  suatu pencerahan tertinggi,, yah itulah perjalanan seorang PERANTAU . mungkin aku terlalu banyak mengeluh, tapi itulah sisi kemanusiaanku, sisi ketika saya tak mampu menampakkan harapan mereka !11

Rabu, 02 Februari 2011

Struggle For Live

Goresan pena seorang anak dara yang malam dan sedang berkelana di tanah jakarta tanah ibukota..........

Malam ini... sulit bagiku menuliskan entah rasa apa yang sedang kualami. Aku hanya mencoba memaknai hari ini meski tak ada yang harus dimaknai. Makna2 itu tertiup badai kekerasan, terhempas kekejaman, tega banged itu kau lakukan untuk aku dan juga kami. Hanya itu yang kukatakan...Aku tersadar dari mimpi indahku yang seakan2 melupakan kepenatanku dalam hidup ini. “Doel, cepetan....entar barang2nya keburu diambil orang lain”. Mama membangunkan aku. Itulah sepenggal kalimat yang terlontar dari bibir mama sebelum ia berangkat entah ke mana, aku tidak tau. Kata2 itu memang tak asing lagi di telingaku. Kata2 itu menyuruhku untuk segera beranjak, memulung entah kemana tergantung kehendak orang2 membuang rezeki kami ke mana.
Kusiapkan atribut2 andalanku, sebuah karung dan gancu yang memang tinggal satu. Yah,, itu untuk aku. Itu pertanda ibu dan adik sudah berangkat.

Entah mengapa......akhir2 ini sulit menemukan sumber hidup itu. Hari ini aku telat, rupanya pesaing2ku telah merampas rezeki yang telah menjadi targetku.
Sang mentari yang setia menemaniku setiap diriku berkelana, lagi2 menyapaku. Sengatan fajarnya sungguh membangkitkan semangat. Bisanya jika ia menyapaku, karungku telah terisi penuh dan aku pasti tersenyum puas.

Hari ini ceritanya sungguh berbeda. Aku bingung. Tumpukan sampah di tempat2 langgananku telah kosong. Aku sungguh bingung. Aku kecewa. Sesekali menyalahi diri sendiri tapi aku nemci orang2 yg telah merampasnya. Aku sadar bahwa tempat2 itu tidak bertuan. Dengan apa harus kuisi karung ini? Meski dengan perut yang kroncongan aku teus mengais rezeki di sepanjang jalan hingga akhirnya sampai di stasius Senen.
Kulihat dari jauh Amir sedang memasuki pintu stasiun. Tapi tiba2 ia terpental keluar. Dua Pria dengan langkah tegap dan tampang yang super sangar serta sepatu bootnya siap menghantam Amir. Gembel lw... tempat lw bukan disini Gembel!! Dalam sekejap sepatu boot itu telah meninggalkan jejak tak terhapuskan di pipi kiri Amir. Kuamati prasasti itu setia tertempel di pipinya selama satu minggu. Aku sedih melihat Amir menderita. Lagian, dulu, kata teman2ku, dua pria berseragam itu gembel seperti saya. Entah dewi Fortuna apa yang mengubah nasib mereka dan entah setan apa yg membutakan mata hati mereka. Dasar kacang lupa kulit. Amier ditindas!!! aku terperanjat, heran, dan tak habis pikir.

Terima kasih Tuhan, meski karung ini hanya mampu terisi separuhnya aku bersyukur karena ada yang memberikan aku makanan hari ini. Om itu baik sekali. Tiba2 saja ia menghampiriku dan menawarkan makanan. Aku kaget, kog masih ada orang seperti ini di sini. Aku sungguh ada di dunia. Terima kasih Om,,,
Akhirnya di malam yang dingin ini, beralaskan kardus aku mencoba merangkai kata guna menumpaskan rasaku hari ini. Aku bersyukur karena aku pernah dilatih memegang ballpoin dan akhirnya berhasil merangakai pengalamanku dalam deretan kata2 ini.

Aku putus asa, rasanya dunia begitu kejam. Kadang aku menyesal mengapa harus terlahir dari seorang Mama yang tak punya apa2. Aku pun ikut menjadi miskin. Tapi sungguh aku tidak bermaksud mengutuki Mamaku karena toh dia juga terlahir dari nenekku yang tak punya apa2. Aku tidak tahu... sejak generasi siapa rantai sengsara ini bermula. Dan sampai kapan Dewi Fortuna mengubah hidup ini? (Dan apakah anda sekalian mau menjadi Dewi Fortuna bagi mereka?) Kembali ke dalam diri kita karena kita yang memutuskan pilihan kita. (pephit, ofm)

Coretan seorang sang Musafir pencari makna hidup.. (catatan murahan)

Dari tepi bibir pantai kutatap jauh menerawang melampaui batas2 lautan. Seakan2 dunia ini bertepi di sana. Di atas garis panjang yang melengkung dan terentang itu, bertengger sang Helios (kata orang Yunani, orang  Flores bilang itu namanya Mentari). Pancaran sinarnya seolah2 kurang tulus menyinari pantai tempat aku duduk dan bermenung. Ia hanya membiarkan separuh raganya menyinari diriku sore itu.... Separuh raganya perlahan mulai tenggelam tertelan garis...

Aku semakin tertegun dan penasaran apakah raga sang Helios sungguh2 tertelan garis?? Pastinya tidak. Menurut pengetahuan dasar ketika masih duduk di bangku SD, sang Didaskolos alias bapak guru mengajarkan bahwa Helios tenggelam untuk terbit di belahan bumi yang lain. Namun, cahaya yang tampak kepadaku mengundang ragaku untuk turut berlayar menggapai sang Helios, “kali aje  gw bisa bersanding di depannya nanti”, anganku dengan memakai bahasa tak berbunyi ala anak Jakarte..Hasrat itu sungguh besar.. aku mau berlayar menuju Helios.

Kembali kuberpikir, memang hasrat itu jika dituruti ibaratnya menggenggam angin, sia2. Seandainya aku mulai berdiri dan menyiapkan sampan lalu berlayar, aku pasti tak akan menggapainya. Ia begitu jauh dan tak terjangkau sampan... Pencarianku tak berujung dan tak bertepi...

Aku, sang musafir pencari makna hidup, sudah memilih untuk berlayar, sungguh. Aku terus dibuntuti masa lalu, masa kini mengajakku tuk berpikir dan tak ayal berorientasi guna berlayar ke masa depan.. Kadang dalam pelayaran itu aku bertanya: untuk apa aku berlayar, padahal berlayar tak punya tujuan?? Aku pernah dijanjikan akan bertemu dengan sang Helios abadi saat aku dapat melampaui batas-batas kehidupan. Aku berlayar dan terus berlayar hanya dengan bermodalkan pengharapan dan tentu dilandasi iman juga sih.. (maaf kepada saudara-saudara atheis). Setidaknya karena sang musafir ini muncul dari kaum Theis, kaum ber-Tuhan, maka selalu kutempatkan sang Chairos pada posisi sentral perjalananku. Aku yakin bahwa memang sekarang Ia hadir dalam perjalananku, tapi tak kelihatan, tanpa kusadari kadang2, bahkan kuabaikan, tapi katanya nanti akan kualami secara nyata ketika telah melampaui batas-batas kehidupan itu… Itulah doping yang memotivasi dan membuatku terus bersemangat untuk mengarungi lautan, berlayar dan terus berlayar… kalau aku tidak berlayar, lalu mengapa aku harus ada di arena yang mengharuskan aku berlayar?? Pertanyaan yang murahan sekaligus tidak berbobot tapi bermakna juga jika direnungkan.. tak ada manusia yang terlempar di dunia ini dan tidak berlayar ke masa depan. Semua manusia memang berlayar… yah.. berlayar dengan sebuah orientasi, sebuah visi dan misi yang jelas..

Lha….. beginilah kalo sang musafir pencari makna hidup menggeluti kehidupannya. Seandainya tidak berkelana, makna hidupnya tergerus dan menguap lenyap tertelan sang waktu- akhirnya hidup itu ABSURD, kata Albert Camus. Kalaupun ia berlayar, ia akan terus bertanya: mengapa aku berlayar?? MENCARI MAKNA HIDUP, jawabnnya…  !! (pephit, ruang Kuliah I stf driyarkara02112010)