PAMIT
PISAH*
“Dan
kamu semua adalah saudara”. Kutipan ini kiranya mewakili segenap kisah dan pengalaman
kala saya menjalani hidup sebagai seorang Saudara Dina. Serentak saya menyadari
bahwa “Pamit Pisah” ini bukanlah ringkasan ataupun rangkuman dari rangkaian ziarah
hidup selama 5 (lima) tahun berada dalam ligkungan keluarga Fransiskan—saya
hitung sejak masa postulat. Tepatnya, “Pamit Pisah” ini hanya ungkapan
perpisahan, karena segala makna hidup yang telah saya pelajari dan hidupkan tak
bisa dikemukakan panjang-lebar di sini. Ungkapan perpisahan ini berisi kata
syukur atau terima kasih, permintaan maaf, dan tentu harapan saya.
Bulan
Juli 2007, saya mendapat surat: satu, surat tanda lulus UN (Ujian Nasional),
dua, Surat Keputusan penerimaan sebagai sdr Fransiskan. Bahagia, tentunya
karena saya menganggap bahwa doa saya terkabulkan. Kemudian saya mulai merajut
hidup berdasarkan semangat dan cara pandang hidup Bapa Fransiskus Assisi. Dan 19
Desember 2012 yang lalu, saya mendapatkan kado natal: surat saran untuk
mengundurkan diri dari Persaudaraan karena “ketidaklayakan” saya menjadi
seorang Fransiskan. Saya menerima dengan baik saran itu dan memutuskan untuk
mengundurkan diri dari persaudaraan. Dua pengalaman ini adalah momen penting
yang patut direfleksikan saat saya mulai merakit sejarah hidup saya.
Jika
berbicara soal rasa, mungkin surat itu ibarat masakan bertabur kaldu istimewa.
Rasanya nano-nano. Perasaan kaget
pasti ada, karena saya tidak memikirkan konsekuensi sejauh itu pasca colloquium terakhir. Waktu colloquium terakhir pada November lalu,
sdr. Frumens Gions OFM telah menanyakan kesiapan batin saya untuk menerima jawaban
dan keputusan Wandikdi, Definitorium, kemudian Sdr Minister Provinsi dalam
menanggapi hasil refleksi saya. “YA” merupakan jawaban tepat untuk
menggambarkan kesiapan saya.
Di
samping kaget, saya justru merasa tenang dan, entahlah, mungkin saya diyakini
diri sendiri bahwa memang semestinya begini. Di sini saya belajar menerima
keputusan orang lain atas hidup saya dengan lapang dada. Saya merasa semakin diyakini saat mengingat-ingat
kembali dinamika hidup saya sebelumnya di Komunitas Fransiskus yang berantakan dan
semestinya tak layak menyandang nama Fransiskan. Keyakinan itu dibungkus rapih
dalam sebuah sikap menerima dan mengakui bahwa surat saran itu sungguh keputusan
yang tepat.
Ucapan Terima Kasih
Oleh
karena itu, pertama-tama saya mengucap syukur kepada Allah Pencipta dan
Penyelenggara hidup. Lika-liku yang telah saya jalani, kuyakini sebagai
tuntunan Dia, sang empunya kehidupan. Rahmat panggilan, terutama panggilan
menjadi Fransiskan untuk periode satu lustrum, yang telah Ia percayakan kepada
saya terkadang tidak dimaklumi sebagaimana mestinya. Kelalaian dan kelemahan
diri menjadikan benih panggilan itu perlahan-lahan layu, mati, dan enggan berkembang. Namun Ia, Sang
Empunya Kehidupan, telah membuat rancangan hidup saya menjadi khas.
Kedua,
kepada persaudaraan Fransiskan yang telah mengajarkan saya hidup dan memaknai
hidup dalam cara pandang Ill Poverello.
Pelajaran-pelajaran ini tak terukur nilai dan materi. Layak, jika semuanya ini
tak dapat kubalas dengan nilai apalagi materi. Saya telah hidup dan berkembang
dalam nuansa persaudaraan Fransiskan.
Ketiga,
kepada semua saudara baik yang dahulu maupun kemudian. Para formator (pater
Frumens, Bruder Damas, dan sdr-sdr magister—juga minister rumah—sebelumnya),
saudara-saudara muda, terutama yang ada di komunitas Padua ini. Kepadamu semua,
kurangkaikan ucapan terima kasih yang sederhana. Meski sederhana namun ia
segalanya bagiku. Ucapan terima kasih ini sungguh mewakili segala kebanggaan,
suka-duka, dan segala pengalaman yang telah kita rajut bersama. Kalian telah
memberikan segalanya bagiku.
Harapan dan Permintaan Maaf
Anyway, life must go on. Hidup selalu akan
berlanjut. Kelanjutan hidup yang pernah kuidamkan ialah: jika kepadamu semua
tak kutinggalkan luka, amarah, dan rasa kecewa karena laku dan kata yang tak
berkenan. Untuk semua laku dan kata yang salah, saya mohon maaf
sebesar-besarnya: HAMBOR kraeng Polus….. (mengutip
gurauan khas komunitas Padua jika ingin berdamai kembali). Akhirnya, segala
kata pisah ini kuikat dalam kata Bapa kita “PACE E BENE”. Semoga Tuhan memberi
kita damai. Damai yang dapat menyatukan kita kembali menyambut tahun baru.
“Dahulu,
ketika saya dalam suka maupun duka, kalian adalah andalanku dalam berbagi
cerita. Mungkin nanti ketika saya dalam suka dan duka, izinkan saya untuk kembali
berbagi bersama kalian semua meskipun dengan cara yang berbeda. Dan doakan saya
agar menjadi umat beriman Kristiani yang benar”. (^_^)
*Tulisan ini adalah ungkapan perpisahan saya untuk semua saudara Dina Provinsi Indonesia. Setelah mempertimbangkannya baik-baik, saya memutuskan untuk membakukan tulisan sederhana bertema perpisahan ini dalam blog sederhana pula. kelak saya akan menemukan makna di balik ungkapan perpisahan ini. Ini harapan. Dan karena harapan inilah saya akan tetap hidup dan bersemangat untuk menjalani rutinitasku di dunia yang baru.....