Selasa, 08 Januari 2013

ETIKA LINGKUNGAN GLOBAL DALAM PERSPEKTIF KRISTIANI (Sdr. Pephit Berchmmans Ngabur)




“Dahulu kita bisa bercocok tanam dengan berpatokan pada musim hujan atau kemarau. Sekarang susah karena curah hujan tak menentu, musim kehilangan orientasi, tak ada pembatas antara musim kemarau dan hujan”. Ini adalah  kutipan perkataan Bapak saya dalam suatu pembicaraan. Perubahan cuaca ekstrim sangat dirasakan oleh masyarakat tani yang saban hari selalu menggauli kegiatan bercocok tanam.
Kesadaran perubahan cuaca bukan hanya disadari masyarkat lokal namun dirasakan oleh masyarakat globnal. Dalam ranah diskusi global permasalahannya bukan menyangkut berhasil atau gagalnya para petani tetapi membahas hal yang sangat urgen karena menyangkut kestabilan ekosistem kehidupan. Dalam cara pandang antroposentrisme dapat dikatakan bahwa lingkungan hidup sangat menyokong kehidupan manusia. Tak ada makhluk hidup tanpa habitat dan ekosistem di dalamnya. Refleksi ilmiah berkaitan dengan problematika lingkungan hidup ini ditulis secara komprehensif dan sistematis oleh J. Baird Callicott dalam artikelnya yang berjudul Menuju Suatu Etika Lingkungan Global. Seluruh pemikiran dan argumen ilmiah yang dilansirkan dalam artikel ini menuntun penulis untuk mencoba merefleksikan secara mendalam problematika Lingkungan Hidup dari pespektif Iman Kristiani dan secara khusus Fransiskan.

Sejarah Etika Lingkungan  Hidup dan Permasalahannya
Dalam perjalanan sejarah evolusi maupun revolusi, masalah lingkungan hidup adalah karya tulis tanpa tanda titik. Manusia dari zaman purba sampa masyarakat kontemporer tetap dan akan menggeluti serta mencari solusi untuk masalah ini. Tiap periode, baik zaman homo sapiens, abad pertengahan, modern, maupun kontemporer, selalu mempunyai Etika Lingkungan Hidup-nya masing-masing. Etika lingkungan hidup ini dibuat karena adanya ketikseimbangan lingkungan. Tujuannya sama yakni untuk menciptakan lingkungan hidup yang seimbang. Seimbang dalam arti bahwa kedua belah pihak, baik manusia maupun lingkungan tak ada yang dirugikan.
Paham-paham (etika) yang berusaha menyelamatkan lingkungan hidup berkembang dari periode ke periode. Antroposentrisme awalnya berusaha menempatkan manusia sebagai pusat pengelolaan lingkungan. Dalam prakteknya paham ini dinilai kurang memadai karena mendorong kecenderungan  manusia untuk bereksploitasi. Beberapa kelompok lain yang lebih koperatif menetapkan etika biosentrisme. Biosentrisme memusatkan kegiatan mereka demi kehidupan (Yunani: bios). Paham ini tidak memberikan tempat bagi kekayaan alam yang tak bernyawa namun berperan dalam ekosistem. Melihat kepincangan dari dua paham sebelumnya muncullah kaum environmentalis. Mereka ini melihat secara holistik peran semua unsur dalam ekosistem. Mereka mempostulatkan etika kehidupan yang lebih holistik yakni ekosentrisme.
Callicott dalam tulisannya memfokuskan pemikirannya pada perkembangan etika Kontemporer. Etika kontemp[orer menyajikan sebuah pandangan tentang kepedulian glonal tentang kerusakan lingkungan hidup. Menimbang berbagai macam pemikian etika tradisional dan menggali semangat masyarakat nomaden zaman purbakala, Callicott menyatakan bahwa kita tak mempunyai banyak alasan untuk tidak kembali ke semngat asali itu. Slogan Think global act local , memang selalu aktual. Bahkan jika kita ingin secara radikal, slogan di atas harus dipahami demikian: bahwa berpikir global dan lokal itu harus dibarengi tindakan yang cakupannya melingkupi dunia global pun lokal. Artinya dua aspek tersebut berjalan beriringan. 

Menilai Etika Lingkungan Hidup dalam perspektif Kristiani
Etika lingkungan hidup yang diulas Callicott dinilai positif karena Etika tersebut dalam perkembangannya sedemikian rupa memberikan arah dasar mengenai cara berpikir dalam rangka mencegah maupun menyelamatkan lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup, khususnya dalam gaya ulasan Callicott, membahas relasi horizontal yakni antara satu spesies terhadap spesies lainnya ataupun antara spesies dan ekosistemnya serta habitatnya. Pandangan Etika Lingkungan di atas dapat direfleksikan lebih mendalam dengan membubuhkan unsur iman di dalamnya. Pola beriman Kristiani kiranya memberikan sumbangan lebih terhadap pandangan etika lingkungan hidup ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah: apa yang menjadi sumbangan pemikiran Kristiani? Kristiani sebagai salah satu agama tentu aspek relasi dengan yang transendental menjadi kekhasannya. Dalam agama kita mengenal bahwa pola hubungan dengan yang transendental yang dikenal adalah relasi ciptaan dan pencipta. Bukti biblis, dalam Genesis, diungkapkan secara lugas bagaimana proses creatio ex nihilo  itu berlangsung. Pemikiran umat Kristiani kiranya dapat berangkat kisah Genesis ini. Di hadapan pencipta kita semua sama, karena kita semua adalah ciptaan. Semangat inilah yang mendorong St. Fransiskus Assisi menganggap segala sesuatu di sekitarnya dalah saudara (yang adalah anugerah baginya). Menganggap sekaligus mengklaim segala sesuatu adalah saudara membawa konsekuensi logis yakni kita saling menjaga dan menghargai sesama ciptaan. Adalah sebuah kesalahan jikalau sesama saudara saling merusak dan membunuh.
Pencipta yang menciptakan segala sesuatu bukan tanpa hubungan dengan hasil ciptaannya. Manusia yang kita yakini sebagai pencipta masih merindukan hubungan yang dekat dengan penciptanya. Hbungan yang sama pun, meskipun dalam kapasitas yang berbeda, terdapat dalam ciptaan lain. Dengan demikian, kehadiran sesama ciptaan adalah sebuah penampakan Pencipta. Dengan kata lain: kita dapat menemukan Pencipta kita dalam ciptaan lain atau alam sekitar (Panentheis). Dengan pemahaman seperti ini, sangatlah mungkin bagi kita untuk menjaga, merawat, dan menghargai ciptaan lain.

Tidak ada komentar: