“Dahulu
kita bisa bercocok tanam dengan berpatokan pada musim hujan atau kemarau. Sekarang
susah karena curah hujan tak menentu, musim kehilangan orientasi, tak ada
pembatas antara musim kemarau dan hujan”. Ini adalah kutipan perkataan Bapak saya dalam suatu
pembicaraan. Perubahan cuaca ekstrim sangat dirasakan oleh masyarakat tani yang
saban hari selalu menggauli kegiatan bercocok tanam.
Kesadaran
perubahan cuaca bukan hanya disadari masyarkat lokal namun dirasakan oleh
masyarakat globnal. Dalam ranah diskusi global permasalahannya bukan menyangkut
berhasil atau gagalnya para petani tetapi membahas hal yang sangat urgen karena
menyangkut kestabilan ekosistem kehidupan. Dalam cara pandang antroposentrisme
dapat dikatakan bahwa lingkungan hidup sangat menyokong kehidupan manusia. Tak
ada makhluk hidup tanpa habitat dan ekosistem di dalamnya. Refleksi ilmiah
berkaitan dengan problematika lingkungan hidup ini ditulis secara komprehensif
dan sistematis oleh J. Baird Callicott
dalam artikelnya yang berjudul Menuju
Suatu Etika Lingkungan Global. Seluruh pemikiran dan argumen ilmiah yang
dilansirkan dalam artikel ini menuntun penulis untuk mencoba merefleksikan
secara mendalam problematika Lingkungan Hidup dari pespektif Iman Kristiani dan
secara khusus Fransiskan.
Sejarah Etika Lingkungan Hidup dan Permasalahannya
Dalam
perjalanan sejarah evolusi maupun revolusi, masalah lingkungan hidup adalah
karya tulis tanpa tanda titik. Manusia dari zaman purba sampa masyarakat
kontemporer tetap dan akan menggeluti serta mencari solusi untuk masalah ini. Tiap
periode, baik zaman homo sapiens,
abad pertengahan, modern, maupun kontemporer, selalu mempunyai Etika Lingkungan
Hidup-nya masing-masing. Etika lingkungan hidup ini dibuat karena adanya
ketikseimbangan lingkungan. Tujuannya sama yakni untuk menciptakan lingkungan
hidup yang seimbang. Seimbang dalam arti bahwa kedua belah pihak, baik manusia
maupun lingkungan tak ada yang dirugikan.
Paham-paham
(etika) yang berusaha menyelamatkan lingkungan hidup berkembang dari periode ke
periode. Antroposentrisme awalnya
berusaha menempatkan manusia sebagai pusat pengelolaan lingkungan. Dalam
prakteknya paham ini dinilai kurang memadai karena mendorong kecenderungan manusia untuk bereksploitasi. Beberapa
kelompok lain yang lebih koperatif menetapkan etika biosentrisme. Biosentrisme memusatkan kegiatan mereka demi
kehidupan (Yunani: bios). Paham ini
tidak memberikan tempat bagi kekayaan alam yang tak bernyawa namun berperan
dalam ekosistem. Melihat kepincangan dari dua paham sebelumnya muncullah kaum
environmentalis. Mereka ini melihat secara holistik peran semua unsur dalam
ekosistem. Mereka mempostulatkan etika kehidupan yang lebih holistik yakni ekosentrisme.
Callicott
dalam tulisannya memfokuskan pemikirannya pada perkembangan etika Kontemporer. Etika kontemp[orer menyajikan sebuah
pandangan tentang kepedulian glonal tentang kerusakan lingkungan hidup.
Menimbang berbagai macam pemikian etika tradisional dan menggali semangat
masyarakat nomaden zaman purbakala,
Callicott menyatakan bahwa kita tak mempunyai banyak alasan untuk tidak kembali
ke semngat asali itu. Slogan Think global
act local , memang selalu aktual. Bahkan jika kita ingin secara radikal,
slogan di atas harus dipahami demikian: bahwa berpikir global dan lokal itu
harus dibarengi tindakan yang cakupannya melingkupi dunia global pun lokal.
Artinya dua aspek tersebut berjalan beriringan.
Menilai Etika Lingkungan Hidup dalam perspektif Kristiani
Etika lingkungan hidup yang diulas
Callicott dinilai positif karena Etika tersebut dalam perkembangannya sedemikian
rupa memberikan arah dasar mengenai cara berpikir dalam rangka mencegah maupun
menyelamatkan lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup, khususnya dalam gaya
ulasan Callicott, membahas relasi horizontal yakni antara satu spesies terhadap
spesies lainnya ataupun antara spesies dan ekosistemnya serta habitatnya. Pandangan
Etika Lingkungan di atas dapat direfleksikan lebih mendalam dengan membubuhkan
unsur iman di dalamnya. Pola beriman Kristiani kiranya memberikan sumbangan
lebih terhadap pandangan etika lingkungan hidup ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah: apa yang
menjadi sumbangan pemikiran Kristiani? Kristiani sebagai salah satu agama tentu
aspek relasi dengan yang transendental menjadi kekhasannya. Dalam agama kita
mengenal bahwa pola hubungan dengan yang transendental yang dikenal adalah
relasi ciptaan dan pencipta. Bukti biblis, dalam Genesis, diungkapkan secara
lugas bagaimana proses creatio ex nihilo itu berlangsung. Pemikiran umat Kristiani
kiranya dapat berangkat kisah Genesis ini. Di hadapan pencipta kita semua sama,
karena kita semua adalah ciptaan. Semangat inilah yang mendorong St. Fransiskus
Assisi menganggap segala sesuatu di sekitarnya dalah saudara (yang adalah
anugerah baginya). Menganggap sekaligus mengklaim segala sesuatu adalah saudara
membawa konsekuensi logis yakni kita saling menjaga dan menghargai sesama
ciptaan. Adalah sebuah kesalahan jikalau sesama saudara saling merusak dan membunuh.
Pencipta yang menciptakan segala sesuatu
bukan tanpa hubungan dengan hasil ciptaannya. Manusia yang kita yakini sebagai
pencipta masih merindukan hubungan yang dekat dengan penciptanya. Hbungan yang
sama pun, meskipun dalam kapasitas yang berbeda, terdapat dalam ciptaan lain.
Dengan demikian, kehadiran sesama ciptaan adalah sebuah penampakan Pencipta.
Dengan kata lain: kita dapat menemukan Pencipta kita dalam ciptaan lain atau
alam sekitar (Panentheis). Dengan
pemahaman seperti ini, sangatlah mungkin bagi kita untuk menjaga, merawat, dan
menghargai ciptaan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar