“Sendengkanlah
telinga hatimu dan patuhlah suara perintah Allah, indahkanlah perintah-Nya
dengan segenap hatimu dan penuhilah nasihat-Nya dengan budi sempurna” (SurOr;
6)
St.
Fransiskus-pada awal Surat kepada seluruh Ordo, ketika ia menemukan pencerahan
tertinggi tentang hubungan hidupnya dengan Sabda Allah, menyumbangkan kepada
kita beberapa makna tak ternilai berkaitan dengan pengembangan sifat yang khusus/khas
dalam paroki. Dengan pengembangan yang logis, beliau mengindikasikan bahwa Sabda
pertama-tama adalah didengarkan dengan penuh rasa hormat dan dengan keterbukaan
terhadap ketaatan yang disarankan, kemudian menjaganya dalam satu hati dan akhirnya
terwujud dalam perbuatan. Mekanisme yang berkonsekuensi ini, berasal dari
eksternal ke internal dan kemudian dari kedalaman hati kepada pekerjaan yang
konkret terlihat, menampakkan jalan yang koheren. Sebagaimana dikatakan: telinga
yang mendengar Sabda harus diiringi oleh hati yang bermeditasi atas sabda itu,
dan tangan yang mempraktekkannya.
1.
Persaudaraan dan
Sabda
“Sendengkanlah
telingamu-patuhilah suara-suara”
Ada
banyak kata yang diucapkan dan terdengar di sekitar paroki. Kadang kita
terseret arus kata-kata itu, khususnya dalam situasi kehiruk-pikukan dunia,
terdapat risiko akan kehilangan kemampuan menyeleksi dan memberikan makna yang
otentik terhadap kata yang terdengar itu.
Santo
Fransiskus memotivasi para saudara untuk menyendengkan telinga guna mendengar
kata-kata yang adalah Roh dan Kehidupan. Frasa “sendengkanlah telingamu” merujuk pada hasrat untuk
mendengar, dan konsekuensinya, yakni mendengar secara asketis dan mendengar
secara langsung Allah yang sedang berbicara, meskipun untuk era ini jarang terjadi.
Seyogianya, paroki memerlukan asketisme mendengar sebagai keutamaan akan sabda
yang ulung/pertama. Bahayanya, sama dengan yang lain, dapat dihindari oleh
“sendengkanlah telinga” ini yang mengatakan bahwa pada saat yang sama terdapat
keinginan (hasrat) untuk mendengar Sabda
Tuhan secara langsung dan komitmen lalu memastikan bahwa tipe
mendengarkan seperti ini memungkinkan terjadi. Hal ini berpeluang memberikan
prioritas atas mendengarkan, jika kita
hendak menyendengkan telinga dengan perhatian, mendengarkan suara para
saudara.
Di
paroki secara langsung dengan para saudara, mereka sebagai persaudaraan harus
pertama-tama menyendengkan telinga mereka untuk mendengarkan Sabda Tuhan dengan
menghargai waktu dan tempat yang didedikasikan sebagai prioritas. Dalam
perayaan ekaristi, dalam doa-doa harian, dalam bacaan-bacaan doa, dan dalam
perayaan-perayaan lainnya dan bentuk hubungan pribadi para saudara dengan Suara
Allah, mengasumsikan bahwa usahanya dalam memahami suara Allah dapat mengubah
hawa nafsu pribadinya (seperti: memberikan kita kesedihan dan menolak kebaikan,
tetapi malah siap sedia dan gemar berbuat jahat (AngTBul 22;6), sehingga setiap hari dapat dilahirkan saudara-sudara
yang spiritual dan bahkan persaudaraan yang spiritual. Setiap saudara diundang
untuk menjadikan sabda sebagai miliknya, seperti kata Nabi Yesaya,”Setiap pagi ia mempertajamkan pendengaranku
untuk mendengar seperti seorang murid” (Yes.50:4). Sabda, kemudian,
bertindak melalui kekuatannya untuk mempersatukan para saudara, lalu menolak
berbagai macam kesamaan criteria terhadap interpretasi dan promosi cara berekspresi, ibarat anak yang sama-sama
belajar dari Bapa.
Dalam
cara ini persaudaraan religious memang pertama-tama merupakan interpretasi (eksegesis)
dari Sabda Allah[1].
Dikatakan eksegesis karena bertutur dengan penuh penghayatan terhadap setiap
uamta di paroki, yakni mempengaruhi setiap pribadi untuk menyendengkan telinga
hati mereka yang terdalam kepada Sabda yang dipeliharanya. Hal itu lebih cocok
untuk mereka yang hidup dalam kelompok yang terbentuk dari pribadi-pribadi yang
berhasrat untuk mendengarkan Sabda Bapa secara bersama-sama, sebagai saudara.
Persaudaraan
seperti ini disebut “tempat dari kenabian” karena orang menganggap dirinya ada
bersama semata-mata karena panggilan hidup dari Sabda yang sama. Mereka merasa
dipanggil untuk pergi ke dunia sebagai
persaudaraan dalam penginjilan, di mana mereka hidup dan memberitakan
Injil dalam cara kemuridan Yesus Kristus, melalui hidup dalam kemiskinan, dengan inspirasi Roh Kudus, dalam
persaudaraan dengan semua ciptaan[2].
Menjaga dengan
segenap Hati
Panggilan
kembali Santo Fransiskus membawa kita untuk kembali kepada nilai-nilai injili
tentang benih : bahwa benih yang berada di tepi jalan atau di bebatuan tidak
dapat berakar, sama halnya yang mati lemas terhimpit oleh duri dan tidak
memiliki cukup ruang untuk hidup. Kehidupan benih dapat dideterminasi dengan
kehendak untuk memikirkannya secara
mendalam dan berpengharapan teguh dalam menjaganya didorong oleh pendirian yang
kokoh: bahwa diantara kata-kata yang terdengar, Sabda-lah yang diutamakan.
Panggilan
Santo Fransiskus hari ini memiliki makna yang special. “Menjaga dengan segenap
hati kita” merepresentasikan kembali tantangan besar kita yakni kita menemukan
diri dalam situasi tergesa-gesa dan kehiruk-pikukan dengan godaan-godaan yang
canggih. Gangguan yang permanen dan kedangkalan hidup cukup menyulitkan kita
dalam menjaga Sabda sebab kita terlarut dalam kecenderungan untuk merampoknya
dan membuat diri kita lambat laun menjauhi pesan (injil) beserta kekuatan
profetisnya.
Hal
yang sungguh ajaib dalam ordo, agar tidak kehilangan Sabda yang terberi, adalah
dengan bergantung padanya.
“Bergantung padanya” di sini mendapat berbagai macam nama dan bentuk: bacaan doa,
meditasi, studi, permenungan, doa, kontemplasi, lectio Divina, dll. Sudah sekian lama Minister General mendorong
para saudara untuk memperhatikan hal-hal ini yakni “menjumpai Sabda,
menghantarkan diri dekat pada-Nya, untuk masuk ke dalamnya dan bergaul mesra
dengannya, menciptakan keheningan lalu mendengarkannya, menjadi sama dengannya,
menjaganya sebagai harta berharga di mana pada moment tertentu dapat membakar
hati kita, membiarkan diri kita dikejutkannya, serta membiarkan diri kita,
seperti Fransiskus, bergerak dengan irama Tuhan. “Hidup kita akan mendapatkan ke-muda-annya[3]”.
Inspirasi
menggantungkan mendapatkan contoh
yang nyata dalam diri Fransiskus Assisi. Beliau menjalin hubungan yang sangat
intim dengan Yesus. Dia membawa Yesus dalam hatinya, Yesus dalam bibirnya, Yesus
dalam telinganya, Yesus dalam matanya, Yesus dalam tangannya, Yesus dalam segala
anggota tubuhnya (I Celano 115). Dalam
ungkapan ini sangatlah mudah mengamati bagaimana Sabda yang datang lalu menyerap
ke dalam dirinya, sedikit demi sedikit menjadikan dia sama seperti isi Sabda
yang didengarkannya, dan akhirnya sama dengan Kristus. Pun stigmata yang adalah
tanda Sabda yang berdiam dalam diri dan yang dijaganya lalu melahirkan
buah-buah yang diberikan Yang dicintai (cf. LegMaj
13,5) mengubah bentuk Fransiskus menjadi Alter Christus.
Di
paroki, “Menggantungkan diri pada Sabda” berarti menyediakan waktu yang pas
untuk Sabda dan biarkan diri diinjili. Jalan dari kemuridan menjadi rasul
terjadi dalam menggantungkan ini. Di
sini terjadi pertemuan secara kebetulan antara yang tertulis dalam injil dengan kata-kata
yang hidup yakni: pertanyaan, orientasi, dan keberadaannya yang berdaya guna. Yang Mahatinggi mewahyukan diri-Nya dan
memberikan pelajaran kepada diri dan hati. “Di sini pandangan iman mematangkan
pembelajaran akan realitas dan kesempatan dengan cara pandang Allah terhadap
keluasan misteri Kristus”.
Dalam
poin ini Paus Yohanes Paulus II, berbicara kepada konsecrata: “Biasanya kamu
tak akan menuai kelelahan dalam peristirahatan untuk memeditasikan Buku Suci,
dan, khususnya Injil Suci karena jalan
Inkarnasi Sabda menanamkan dirinya padamu”.
Untuk
memberikan buah dari perstirahatan ini dan untuk menanamkan tanda yang
kelihatan dari Allah kepada Paroki, harus memperhatikan:
·
Bacaan
Doa Kitab Suci
·
Kesempatan
untuk meditasi pribadi
·
Studi
dan pendalaman pengetahuan terhadap Buku Suci.
·
Mengikuti
perkembangan teologi-teologi terkini
·
Bacaan
komunitas dan menginterpretasikan tanda-tanda zaman
·
Pengakuan
dan keberlanjutan perhatian terhadap
kultur atau kearifan lokal dalam pandangan inkulkturasi Injil.
·
Pembinaan
lanjut terhadap dialog dalam berbagai level.
Satu
bentuk menggantungkan terhadap Sabda
dalam ordo adalah mengamati lalu melakukan studi dengan segenap hati. Tradisi
Fransiskan kita mengajarkan bahwa Ordo dibangun atas dua pilar yakni: kekudusan hidup dan pengetahuan (cf. Eccleston
90). Untuk alasan ini para Fransiskan terdahulu menyajikan dialog yang
spektakuler antara sains dan kekudusan. Hal yang tidak perlu didukung dalam
pemberitaan Injil adalah mengedepankan unsur intelektual meskipun studi adalah
hal yang fundamental bagi kita untuk melakukan penginjilan. Namun yang perlu
ditanamkan dalam diri kita adalah bahwa studi didedikasikan bagi kualitas
pelayanan hidup kita.
Penuhi dengan
Budi yang Sempurna
Setelah
mendengarkan dan membacakannya dalam rangka menyelami Sabda, Fransiskus
menggabungkan elemen yang penting dan menentukan yakni mewujudkannya dalam
praktik hidup apa yang telah diterima. “Meditasi, sebagai fakta yang berarti,
sasaran dalam hidup dan inkarnasi Sabda.
Tanpa elemen yang berpengaruh tersebut, tanpa inkarnasi Sabda, tak ada lagi
pemahaman Injil yang benar. Memisahkan keduanya akan memimpin kita dari kehidupan
kepada kematian. “religius ini-nasihat santo Fransiskus- adalah yang tidak
mengikuti semangat Injil Suci (Was 7, Was
5).
Bagi
Fransiskus dan sekolah-sekolah Fransiskan, sesunguhnya, jalan yang paling cocok
untuk mengenal dan menginkarnasikan sabda adalah mengimplementasikan apa yang
dikhotbahkan. Hal itu memperlakukan pengetahuan eksperiental di mana dituntut
keterlibatan kita dalam Sabda yang berinkarnasi, maka akan muncullah
pertanyaan: “Tuhan, apa yang Kau kehendaki aku perbuat?” dan jawabannya adalah
“Dengan harapan saya akan melakukannya, Tuhan (3 Comp 6:3). Bapa Suci, pada hari pembukaan Sinode Sabda Allah,
mengatakan kepada Gereja: “Jika mewartakan Injil demi alasan kehidupan dan
misi, hal itu kurang penting karena Gereja menyadari dan hidup dengan apa yang
diwartakan, sehingga pewartaan itu sedikit kredible, lalu tidak melawan
kedinaan dan kemiskinan saudara-saudara yang melakukannya.
Tradisi
Fransiskan kita dalam mempromosikannya di Paroki, selanjutnya, merupakan
apresiasi dasar dari pengalaman dan sabda yang konkret dan berlangsung secara
kontinuitas membuatnya berinkarnasi dalam situasi yang berbeda.
2.
Persaudaraan
dalam Pelayanan Sabda
Persaudaraan
evangelisasi dalam mempersembahkan pelayanan di paroki menemukan gambaran Sabda
sebagai: “makanan untuk kehidupan, untuk doa dan perjalanan sehari-hari,
prinsip dasar untuk kesatuan komunitas dalam kesatuan pikiran, inspirasi untuk pembaharuan
terus menerus dan kreativitas apostolik (kerasulan)”. Para saudara menjadi
pribadi yang bebas, evangelis, profetis dan dapat menjadi “pelayan sabda yang
berkomitmen akan evangelisasi”-yang otentik.
Disuburkan
dengan Sabda, para saudara merasa memiliki semangat yang menyala-nyala untuk
memupuk Sabda yang sama kepada saudara dan saudari yang dijumpai, untuk
berkomunikasi dalam hidup dan kata apa yang mereka dengar, lihat,
kontemplasikan, dan rasakan (I Yoh. 1,1).
Paroki dapat sungguh menjadi meja yang besar dalam perjamuan Sabda Allah guna
berbagi dalam kemurahan hati, berdaya guna, dan dengan otoritasnya
merefleksikan pengalaman hidupnya. Lagi, ia juga dapat menjadi tempat untuk
mengalami pengalaman akan Allah di mana kita dapat mengkontemplasikannya ke
kedalaman hati manusia: dalam pengalaman, sejarah, alam dan dalam mereka yang
mengarahkan dirinya kepada Allah yang hidup. Bagi kita ada tuntutan internal
pada bagian Sabda Allah : setelah memanggil dan mengumpulkan para saudara ke
dalam persaudaraan, setelah berevangelisasi dan menyerapkan Sabda itu ke dalam
diri mereka, sekarang Sabda itulah yang mengirim mereka. Inilah dinamisme Sabda
yang nyata dalam kenabian dan kerasulan. Hal yang sama pula kita temukan dalam
kehidupan para santo-santa. Sehingga hal itu juga yang dialami Santo
Fransiskus, yang mabuk oleh Sabda, menjadi pelayan-Nya: “Sejak saya menjadi
pelayan dari semua, saya terikat untuk melayani semua dan untuk melaksanakan
keharuman Sabda dari Penyelamatku” (cf 2Lf2).
Sebagai
pengikut Fransiskus, para saudara yakin bahwa pelayanan yang pertama adalah
dengan Sabda yang diberikan kita memuji Allah
(SurOr 8).
Barangkali
di paroki kita, sikap memuji Allah ini harus
digemakan, sebagai elemen dasar bentuk simpatik para Fransiskan terhadap Sabda
Allah. Pemuliaan, misteri, kebesaran, keajaiban, kabar sukacita tentang
pemahaman hati tidak terpisah dari pemahaman intelektual. Undangan langsung dari Santo Fransiskus kepada
para Saudara terpancar dari pendirian bahwa kita membicarakan Tuhan dan
memuliakan-Nya: “sebab untuk itulah Dia
mengutus kamu ke seluruh dunia, agar dengan perkataan dan perbuatanmu, kamu
memberi kesaksian tentang suara-Nya dan memaklumkan kepada semua orang, bahwa
tak ada Tuhan Allah selain Dia” (SurOr
9).
Karakteristik
paroki Fransiskan tampak lebih memprioritaskan evangelisasi dengan praktik
sakramental dan devosional dengan melihat bahwa praktik ini juga sebagai tempat
evangelisasi. Paroki adalah tempat yang istimewa di mana sabda diterima dan
tinggal dan dari sini Sabda itu merasuki setiap pribadi. Perhatian khusus harus
mengintensifkan cara terbaik dalam mewartakan Sabda:
·
Formasi
Injili
·
Misi
kepada bangsa-bangsa
·
Waktu
dan ruang terhadap pengalaman bertemu
secara spontan dengan Allah
·
Ret-ret
dan latihan rohani
·
Pendengaran
personal dan pendampingan
·
Pemanfaatan
berbagai macam bentuk alat-alat komunikasi
·
Katekese
adaptasi terhadap beberapa kelompok inisiasi yang ingin masuk Kristen dan
pematangan iman.
·
Inisiasi
yang lain terhadap dialog dan pertemuan.
Persaudaraan
dalam paroki yang dimotivasi oleh Sabda akan memberikan perhatian yang khusus
kepada mereka yang jauh dari komunitas Gerejawi, kaum muda, gerakan sosial,
mereka yang terbengkalai dari praktik hidup rohani dan mereka yang merasa
terasing. Dengan kolaborasi bersama kaum awam, kita memiliki kreativitas
apostolik dan bayangan pastoral, kita harus dapat menemukan suatu cara pastoral
yang baru, tidak hanya mengikuti cara para misionaris berkarya.
Ikatan
antara Sabda Allah dan manusia masa kini mengingatkan kita pada kebutuhan untuk
menyokong 2 kesetiaan : terhadap Injil dan terhadap semua orang. Untuk tantangan yang besar pada zaman ini,
para saudara harus mampu membiarkan diri untuk berkolaborasi bersama kaum awam.
Dengan motivasi ini, para Fransiskan hendaklah menjadi tempat investasi
terhadap pembinaan iman Kristiani sehingga mereka akan berada pada posisi untuk
memberikan argumen terhadap harapan dan iman, dan untuk berdialog dengan budaya
setempat, dengan agama dan masyarakat yang plural.
Langkah
penting dalam mewartakan Sabda adalah KHOTBAH.
Homili merepresentasikan aspek yang
bermanfaat. Persaudaraan paroki menyadari sungguh bahwa sebagian terbesar umat menyadari kalau homili adalah prinsip dasar
pertemuan dengan Sabda Allah. Dengan alasan inilah mengapa khotbah menjadi
penting. Tradisi Fransiskan memiliki warisan yang kaya dalam hal berkhotbah.
Berikut beberapa elemen tersebut:
·
Berhubungan erat
dengan pendengar.
Santo pengkhotbah kita memiliki pemahaman yang dalam atas budaya dan bahasa
pendengar. Mereka membicarakan bahasa Tuhan dengan bahasa manusia. Apa yang
dikhotbahkan sungguh-sungguh sesuai dengan pengalaman mereka dan bahasanya mudah
dimngerti.
·
Sederhana dan
populer.
Santo Fransiskus, dalam penyembahannya terhadap Kebajikan tertinggi, menyatukan
Ratu Kebijaksanaan kepada saudarinya, kemurnian dan kesederhanaan yang suci
(Salvir 1). Berbicara yang sederhana-dengan cara yang ringkas-akan mudah
didengarkan oleh semua orang. Juga pendekatan yang populer adalah ciri khas
khotbah para Fransiskan yang banyak digemari oleh para santo yang berkhotbah
dengan cara contoh, cerita, pengalaman hidup, dan kenyataan hidup yang membuat
para pendengar memahami lalu menyadari bahwa Sabda itu benar-benar tumbuh dalam
diri mereka. (AngTBul 17:6, Was 2:3, 8:3, dll). Pada akhirnya contoh ini
tercermin dari cara Tuhan berkhotbah di mana Ia gemar memakai
perumpamaan-perumpamaan dalam berkhotbah dan mengambil pengalaman hidup
pendengar lalu menunjukkan pesan-Nya.
·
Isi yang Konkret. Ada lompatan
pada diri Pengkhotbah terhadap sumber-sumber teks asli tentang pewahyuan yang harus
dipuaskan oleh doa dan study, dan pada imannya ia harus beristirahat.
Selebihnya, Santo Fransiskus menulis dalam Anggaran dasar: “Selanjutnya, aku
menasihati dan mengajak saudara-saudara itu, agar dalam khotbah yang mereka
sampaikan, ucapan-ucapan mereka hendaknya
ditimbang masak-masak dan murni, demi
kepentingan umat dan pembinaannya. Untuk itu mereka hendaknya mewartakan kepada
umat cacat-cela dan keutamaan, hukuman dan kemuliaan dengan khotbah yang
singkat, sebab Tuhan telah menyampaikan
firman singkat di atas bumi”(AngBul
9,3-4)”. Santo Bernardinus memberikan kepada kita kesaksian yang gemilang
dari khotbah yang tajam dan inkulturatif di mana dapat disimpulkan menjadi 3
kata: baik, singkat, dan jelas.
·
Berbicara dengan
otoritas. Tradisi
Fransiskan mewariskan kepada kita para pengkhotbah yang berkhotbah melalui
perilaku. Lidah mereka tidak malu untuk berkata-kata karena kata yang diucapkan
tidak jauh dari perbuatannya. Model seperti ini sangat efektif dalam berkhotbah
dan tentu saja mendorong para pendengar untuk mengatakan “Apa yang harus kita lakukan?”
(Kis. 2,7). Santo Bonaventura, dalam thesisnya, mengungkapkan tiga hal
dalam menghadirkan Sanda Allah:
pertama, pengetahuan yang memberikan isi, kedua,kefasihan dalam menyampaikannya, ketiga,hidup yang menandaskan keduanya.
Menghadirkan sabda Allah tanpa pengetahuan akan menyajikan isi khotbah yang
berbahaya, tanpa kefasihan khotbah itu akan kurang berguna, tanpa hidup yang
menghiasinya khotbah itu akan tercela.
·
Kreativitas. Melihat Roh
Kudus sebagai protagonis atau tokoh utama dalam evangelisasi, khotbah para
Fransiskan selalu menyebarkan pengaruh di mana tanpa outline homiletika pun
khotbah itu bermakna. Dengan demikian,
Santo Fransiskus telah menyatukan kata dan perilaku dan kemudian ia menggantikan
yang terdahulu. Yang terbesar adalah gerakan badan yang penuh penghayatan!.
Beberapa gaya berkhotbah zaman dahulu, yang tidak relevan lagi untuk zaman ini,
menjawab secara tepat tuntutan orang pada waktu itu. Jika mereka tidak mampu
mengakses kembali materi karena kultur yang berbeda, mereka mengajak kita untuk
mencari ekspresi baru dalam menginkulturasikan sabda Tuhan pada zaman kita.
[1]
Benedictus XVI, Discourse on the Occasion of the XIII Day of
the Consecrated Life, February 2, 2008.
[2] Hermann Schaluck, OFM, Fill the earth with the Gospel of Christ,
letter for Pentecost, 1996, 72.
[3]
Jose Rodriquez Carballo,
OFM, Mendicants of Meaning, guided by the
Word, Letter for Pentecost, 2008, 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar