Selasa, 08 Januari 2013

KESAKSIAN DAN PELAYAN SABDA (MARTYRIA) (Sdr. Pephit Berchmmans Ngabur



“Sendengkanlah telinga hatimu dan patuhlah suara perintah Allah, indahkanlah perintah-Nya dengan segenap hatimu dan penuhilah nasihat-Nya dengan budi sempurna” (SurOr; 6)
St. Fransiskus-pada awal Surat kepada seluruh Ordo, ketika ia menemukan pencerahan tertinggi tentang hubungan hidupnya dengan Sabda Allah, menyumbangkan kepada kita beberapa makna tak ternilai berkaitan dengan pengembangan sifat yang khusus/khas dalam paroki. Dengan pengembangan yang logis, beliau mengindikasikan bahwa Sabda pertama-tama adalah didengarkan dengan penuh rasa hormat dan dengan keterbukaan terhadap ketaatan yang disarankan, kemudian  menjaganya dalam satu hati dan akhirnya terwujud dalam perbuatan. Mekanisme yang berkonsekuensi ini, berasal dari eksternal ke internal dan kemudian dari kedalaman hati kepada pekerjaan yang konkret terlihat, menampakkan jalan yang koheren. Sebagaimana dikatakan: telinga yang mendengar Sabda harus diiringi oleh hati yang bermeditasi atas sabda itu, dan tangan yang mempraktekkannya. 

1.      Persaudaraan dan Sabda
Sendengkanlah telingamu-patuhilah suara-suara
Ada banyak kata yang diucapkan dan terdengar di sekitar paroki. Kadang kita terseret arus kata-kata itu, khususnya dalam situasi kehiruk-pikukan dunia, terdapat risiko akan kehilangan kemampuan menyeleksi dan memberikan makna yang otentik terhadap  kata yang terdengar itu.
Santo Fransiskus memotivasi para saudara untuk menyendengkan telinga guna mendengar kata-kata yang adalah Roh dan Kehidupan. Frasa “sendengkanlah  telingamu” merujuk pada hasrat untuk mendengar, dan konsekuensinya, yakni mendengar secara asketis dan mendengar secara langsung Allah yang sedang berbicara, meskipun untuk era ini jarang terjadi. Seyogianya, paroki memerlukan asketisme mendengar sebagai keutamaan akan sabda yang ulung/pertama. Bahayanya, sama dengan yang lain, dapat dihindari oleh “sendengkanlah telinga” ini yang mengatakan bahwa pada saat yang sama terdapat keinginan (hasrat) untuk mendengar Sabda  Tuhan secara langsung dan komitmen lalu memastikan bahwa tipe mendengarkan seperti ini memungkinkan terjadi. Hal ini berpeluang memberikan prioritas atas mendengarkan, jika kita hendak menyendengkan telinga dengan perhatian, mendengarkan suara para saudara.
Di paroki secara langsung dengan para saudara, mereka sebagai persaudaraan harus pertama-tama menyendengkan telinga mereka untuk mendengarkan Sabda Tuhan dengan menghargai waktu dan tempat yang didedikasikan sebagai prioritas. Dalam perayaan ekaristi, dalam doa-doa harian, dalam bacaan-bacaan doa, dan dalam perayaan-perayaan lainnya dan bentuk hubungan pribadi para saudara dengan Suara Allah, mengasumsikan bahwa usahanya dalam memahami suara Allah dapat mengubah hawa nafsu pribadinya (seperti: memberikan kita kesedihan dan menolak kebaikan, tetapi malah siap sedia dan gemar berbuat jahat (AngTBul 22;6), sehingga setiap hari dapat dilahirkan saudara-sudara yang spiritual dan bahkan persaudaraan yang spiritual. Setiap saudara diundang untuk menjadikan sabda sebagai miliknya, seperti kata Nabi Yesaya,”Setiap pagi ia mempertajamkan pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid” (Yes.50:4). Sabda, kemudian, bertindak melalui kekuatannya untuk mempersatukan para saudara, lalu menolak berbagai macam kesamaan criteria terhadap interpretasi dan promosi  cara berekspresi, ibarat anak yang sama-sama belajar dari Bapa.
Dalam cara ini persaudaraan religious memang pertama-tama merupakan interpretasi (eksegesis) dari Sabda Allah[1]. Dikatakan eksegesis karena bertutur dengan penuh penghayatan terhadap setiap uamta di paroki, yakni mempengaruhi setiap pribadi untuk menyendengkan telinga hati mereka yang terdalam kepada Sabda yang dipeliharanya. Hal itu lebih cocok untuk mereka yang hidup dalam kelompok yang terbentuk dari pribadi-pribadi yang berhasrat untuk mendengarkan Sabda Bapa secara bersama-sama, sebagai saudara.  
Persaudaraan seperti ini disebut “tempat dari kenabian” karena orang menganggap dirinya ada bersama semata-mata karena panggilan hidup dari Sabda yang sama. Mereka merasa dipanggil untuk pergi ke dunia sebagai  persaudaraan dalam penginjilan, di mana mereka hidup dan memberitakan Injil dalam cara kemuridan Yesus Kristus, melalui hidup dalam kemiskinan, dengan inspirasi Roh Kudus, dalam persaudaraan dengan semua ciptaan[2].

Menjaga dengan segenap Hati
Panggilan kembali Santo Fransiskus membawa kita untuk kembali kepada nilai-nilai injili tentang benih : bahwa benih yang berada di tepi jalan atau di bebatuan tidak dapat berakar, sama halnya yang mati lemas terhimpit oleh duri dan tidak memiliki cukup ruang untuk hidup. Kehidupan benih dapat dideterminasi dengan kehendak untuk  memikirkannya secara mendalam dan berpengharapan teguh dalam menjaganya didorong oleh pendirian yang kokoh: bahwa diantara kata-kata yang terdengar, Sabda-lah yang diutamakan.
Panggilan Santo Fransiskus hari ini memiliki makna yang special. “Menjaga dengan segenap hati kita” merepresentasikan kembali tantangan besar kita yakni kita menemukan diri dalam situasi tergesa-gesa dan kehiruk-pikukan dengan godaan-godaan yang canggih. Gangguan yang permanen dan kedangkalan hidup cukup menyulitkan kita dalam menjaga Sabda sebab kita terlarut dalam kecenderungan untuk merampoknya dan membuat diri kita lambat laun menjauhi pesan (injil) beserta kekuatan profetisnya.
Hal yang sungguh ajaib dalam ordo, agar tidak kehilangan Sabda yang terberi, adalah dengan bergantung padanya. “Bergantung padanya” di sini mendapat berbagai macam nama dan bentuk: bacaan doa, meditasi, studi, permenungan, doa, kontemplasi, lectio Divina, dll. Sudah sekian lama Minister General mendorong para saudara untuk memperhatikan hal-hal ini yakni “menjumpai Sabda, menghantarkan diri dekat pada-Nya, untuk masuk ke dalamnya dan bergaul mesra dengannya, menciptakan keheningan lalu mendengarkannya, menjadi sama dengannya, menjaganya sebagai harta berharga di mana pada moment tertentu dapat membakar hati kita, membiarkan diri kita dikejutkannya, serta membiarkan diri kita, seperti Fransiskus, bergerak dengan irama Tuhan. “Hidup kita akan  mendapatkan ke-muda-annya[3]”.
Inspirasi menggantungkan mendapatkan contoh yang nyata dalam diri Fransiskus Assisi. Beliau menjalin hubungan yang sangat intim dengan Yesus. Dia membawa Yesus dalam hatinya, Yesus dalam bibirnya, Yesus dalam telinganya, Yesus dalam matanya, Yesus dalam tangannya, Yesus dalam segala anggota tubuhnya (I Celano 115). Dalam ungkapan ini sangatlah mudah mengamati bagaimana Sabda yang datang lalu menyerap ke dalam dirinya, sedikit demi sedikit menjadikan dia sama seperti isi Sabda yang didengarkannya, dan akhirnya sama dengan Kristus. Pun stigmata yang adalah tanda Sabda yang berdiam dalam diri dan yang dijaganya lalu melahirkan buah-buah yang diberikan Yang dicintai (cf. LegMaj 13,5) mengubah bentuk Fransiskus menjadi Alter Christus.
Di paroki, “Menggantungkan diri pada Sabda” berarti menyediakan waktu yang pas untuk Sabda dan biarkan diri diinjili. Jalan dari kemuridan menjadi rasul terjadi dalam menggantungkan ini. Di sini terjadi pertemuan secara kebetulan antara  yang tertulis dalam injil dengan kata-kata yang hidup yakni: pertanyaan, orientasi, dan keberadaannya yang berdaya guna.  Yang Mahatinggi mewahyukan diri-Nya dan memberikan pelajaran kepada diri dan hati. “Di sini pandangan iman mematangkan pembelajaran akan realitas dan kesempatan dengan cara pandang Allah terhadap keluasan misteri Kristus”.
Dalam poin ini Paus Yohanes Paulus II, berbicara kepada konsecrata: “Biasanya kamu tak akan menuai kelelahan dalam peristirahatan untuk memeditasikan Buku Suci, dan,  khususnya Injil Suci karena jalan Inkarnasi Sabda menanamkan dirinya padamu”.
Untuk memberikan buah dari perstirahatan ini dan untuk menanamkan tanda yang kelihatan dari Allah kepada Paroki, harus memperhatikan:
·         Bacaan Doa Kitab Suci
·         Kesempatan untuk meditasi pribadi
·         Studi dan pendalaman pengetahuan terhadap Buku Suci.
·         Mengikuti perkembangan teologi-teologi terkini
·         Bacaan komunitas dan menginterpretasikan tanda-tanda zaman
·         Pengakuan dan keberlanjutan  perhatian terhadap kultur atau kearifan lokal dalam pandangan inkulkturasi Injil.
·         Pembinaan lanjut terhadap dialog dalam berbagai level.
Satu bentuk menggantungkan terhadap Sabda dalam ordo adalah mengamati lalu melakukan studi dengan segenap hati. Tradisi Fransiskan kita mengajarkan bahwa Ordo dibangun atas dua pilar yakni: kekudusan hidup dan pengetahuan (cf. Eccleston 90). Untuk alasan ini para Fransiskan terdahulu menyajikan dialog yang spektakuler antara sains dan kekudusan. Hal yang tidak perlu didukung dalam pemberitaan Injil adalah mengedepankan unsur intelektual meskipun studi adalah hal yang fundamental bagi kita untuk melakukan penginjilan. Namun yang perlu ditanamkan dalam diri kita adalah bahwa studi didedikasikan bagi kualitas pelayanan hidup kita.

Penuhi dengan Budi yang Sempurna
Setelah mendengarkan dan membacakannya dalam rangka menyelami Sabda, Fransiskus menggabungkan elemen yang penting dan menentukan yakni mewujudkannya dalam praktik hidup apa yang telah diterima. “Meditasi, sebagai fakta yang berarti, sasaran dalam hidup  dan inkarnasi Sabda. Tanpa elemen yang berpengaruh tersebut, tanpa inkarnasi Sabda, tak ada lagi pemahaman Injil yang benar. Memisahkan keduanya akan memimpin kita dari kehidupan kepada kematian. “religius ini-nasihat santo Fransiskus- adalah yang tidak mengikuti semangat Injil Suci (Was 7, Was 5).
Bagi Fransiskus dan sekolah-sekolah Fransiskan, sesunguhnya, jalan yang paling cocok untuk mengenal dan menginkarnasikan sabda adalah mengimplementasikan apa yang dikhotbahkan. Hal itu memperlakukan pengetahuan eksperiental di mana dituntut keterlibatan kita dalam Sabda yang berinkarnasi, maka akan muncullah pertanyaan: “Tuhan, apa yang Kau kehendaki aku perbuat?” dan jawabannya adalah “Dengan harapan saya akan melakukannya, Tuhan (3 Comp 6:3). Bapa Suci, pada hari pembukaan Sinode Sabda Allah, mengatakan kepada Gereja: “Jika mewartakan Injil demi alasan kehidupan dan misi, hal itu kurang penting karena Gereja menyadari dan hidup dengan apa yang diwartakan, sehingga pewartaan itu sedikit kredible, lalu tidak melawan kedinaan dan kemiskinan saudara-saudara yang melakukannya.
Tradisi Fransiskan kita dalam mempromosikannya di Paroki, selanjutnya, merupakan apresiasi dasar dari pengalaman dan sabda yang konkret dan berlangsung secara kontinuitas membuatnya berinkarnasi dalam situasi yang berbeda.

2.      Persaudaraan dalam Pelayanan Sabda
Persaudaraan evangelisasi dalam mempersembahkan pelayanan di paroki menemukan gambaran Sabda sebagai: “makanan untuk kehidupan, untuk doa dan perjalanan sehari-hari, prinsip dasar untuk kesatuan komunitas dalam kesatuan pikiran, inspirasi untuk pembaharuan terus menerus dan kreativitas apostolik (kerasulan)”. Para saudara menjadi pribadi yang bebas, evangelis, profetis dan dapat menjadi “pelayan sabda yang berkomitmen akan evangelisasi”-yang otentik.
Disuburkan dengan Sabda, para saudara merasa memiliki semangat yang menyala-nyala untuk memupuk Sabda yang sama kepada saudara dan saudari yang dijumpai, untuk berkomunikasi dalam hidup dan kata apa yang mereka dengar, lihat, kontemplasikan, dan rasakan (I Yoh. 1,1). Paroki dapat sungguh menjadi meja yang besar dalam perjamuan Sabda Allah guna berbagi dalam kemurahan hati, berdaya guna, dan dengan otoritasnya merefleksikan pengalaman hidupnya. Lagi, ia juga dapat menjadi tempat untuk mengalami pengalaman akan Allah di mana kita dapat mengkontemplasikannya ke kedalaman hati manusia: dalam pengalaman, sejarah, alam dan dalam mereka yang mengarahkan dirinya kepada Allah yang hidup. Bagi kita ada tuntutan internal pada bagian Sabda Allah : setelah memanggil dan mengumpulkan para saudara ke dalam persaudaraan, setelah berevangelisasi dan menyerapkan Sabda itu ke dalam diri mereka, sekarang Sabda itulah yang mengirim mereka. Inilah dinamisme Sabda yang nyata dalam kenabian dan kerasulan. Hal yang sama pula kita temukan dalam kehidupan para santo-santa. Sehingga hal itu juga yang dialami Santo Fransiskus, yang mabuk oleh Sabda, menjadi pelayan-Nya: “Sejak saya menjadi pelayan dari semua, saya terikat untuk melayani semua dan untuk melaksanakan keharuman Sabda dari Penyelamatku” (cf 2Lf2).
Sebagai pengikut Fransiskus, para saudara yakin bahwa pelayanan yang pertama adalah dengan Sabda yang diberikan kita memuji Allah  (SurOr 8).
Barangkali di paroki kita, sikap memuji Allah  ini harus digemakan, sebagai elemen dasar bentuk simpatik para Fransiskan terhadap Sabda Allah. Pemuliaan, misteri, kebesaran, keajaiban, kabar sukacita tentang pemahaman hati tidak terpisah dari pemahaman intelektual.  Undangan langsung dari Santo Fransiskus kepada para Saudara terpancar dari pendirian bahwa kita membicarakan Tuhan dan memuliakan-Nya: “sebab untuk itulah Dia mengutus kamu ke seluruh dunia, agar dengan perkataan dan perbuatanmu, kamu memberi kesaksian tentang suara-Nya dan memaklumkan kepada semua orang, bahwa tak ada Tuhan Allah selain Dia” (SurOr 9).
Karakteristik paroki Fransiskan tampak lebih memprioritaskan evangelisasi dengan praktik sakramental dan devosional dengan melihat bahwa praktik ini juga sebagai tempat evangelisasi. Paroki adalah tempat yang istimewa di mana sabda diterima dan tinggal dan dari sini Sabda itu merasuki setiap pribadi. Perhatian khusus harus mengintensifkan cara terbaik dalam mewartakan Sabda:
·         Formasi Injili
·         Misi kepada bangsa-bangsa
·         Waktu dan ruang terhadap  pengalaman bertemu secara spontan dengan Allah
·         Ret-ret dan latihan rohani
·         Pendengaran personal dan pendampingan
·         Pemanfaatan berbagai macam bentuk alat-alat komunikasi
·         Katekese adaptasi terhadap beberapa kelompok inisiasi yang ingin masuk Kristen dan pematangan iman.
·         Inisiasi yang lain terhadap dialog dan pertemuan.
Persaudaraan dalam paroki yang dimotivasi oleh Sabda akan memberikan perhatian yang khusus kepada mereka yang jauh dari komunitas Gerejawi, kaum muda, gerakan sosial, mereka yang terbengkalai dari praktik hidup rohani dan mereka yang merasa terasing. Dengan kolaborasi bersama kaum awam, kita memiliki kreativitas apostolik dan bayangan pastoral, kita harus dapat menemukan suatu cara pastoral yang baru, tidak hanya mengikuti cara para misionaris berkarya.
Ikatan antara Sabda Allah dan manusia masa kini mengingatkan kita pada kebutuhan untuk menyokong 2 kesetiaan : terhadap  Injil dan terhadap semua orang. Untuk tantangan yang besar pada zaman ini, para saudara harus mampu membiarkan diri untuk berkolaborasi bersama kaum awam. Dengan motivasi ini, para Fransiskan hendaklah menjadi tempat investasi terhadap pembinaan iman Kristiani sehingga mereka akan berada pada posisi untuk memberikan argumen terhadap harapan dan iman, dan untuk berdialog dengan budaya setempat, dengan agama dan masyarakat yang plural.
Langkah penting dalam mewartakan Sabda adalah KHOTBAH. Homili  merepresentasikan aspek yang bermanfaat. Persaudaraan paroki menyadari sungguh bahwa sebagian terbesar umat  menyadari kalau homili adalah prinsip dasar pertemuan dengan Sabda Allah. Dengan alasan inilah mengapa khotbah menjadi penting. Tradisi Fransiskan memiliki warisan yang kaya dalam hal berkhotbah. Berikut beberapa elemen tersebut:
·         Berhubungan erat dengan pendengar. Santo pengkhotbah kita memiliki pemahaman yang dalam atas budaya dan bahasa pendengar. Mereka membicarakan bahasa Tuhan dengan bahasa manusia. Apa yang dikhotbahkan sungguh-sungguh sesuai dengan pengalaman mereka dan bahasanya mudah dimngerti.
·         Sederhana dan populer. Santo Fransiskus, dalam penyembahannya terhadap Kebajikan tertinggi, menyatukan Ratu Kebijaksanaan kepada saudarinya, kemurnian dan kesederhanaan yang suci (Salvir 1). Berbicara yang sederhana-dengan cara yang ringkas-akan mudah didengarkan oleh semua orang. Juga pendekatan yang populer adalah ciri khas khotbah para Fransiskan yang banyak digemari oleh para santo yang berkhotbah dengan cara contoh, cerita, pengalaman hidup, dan kenyataan hidup yang membuat para pendengar memahami lalu menyadari bahwa Sabda itu benar-benar tumbuh dalam diri mereka. (AngTBul 17:6, Was 2:3, 8:3, dll). Pada akhirnya contoh ini tercermin dari cara Tuhan berkhotbah di mana Ia gemar memakai perumpamaan-perumpamaan dalam berkhotbah dan mengambil pengalaman hidup pendengar lalu menunjukkan pesan-Nya.
·         Isi yang Konkret. Ada lompatan pada diri Pengkhotbah terhadap sumber-sumber teks asli tentang pewahyuan yang harus dipuaskan oleh doa dan study, dan pada imannya ia harus beristirahat. Selebihnya, Santo Fransiskus menulis dalam Anggaran dasar: “Selanjutnya, aku menasihati dan mengajak saudara-saudara itu, agar dalam khotbah yang mereka sampaikan, ucapan-ucapan mereka hendaknya ditimbang masak-masak dan murni, demi kepentingan umat dan pembinaannya. Untuk itu mereka hendaknya mewartakan kepada umat cacat-cela dan keutamaan, hukuman dan kemuliaan dengan khotbah yang singkat, sebab Tuhan telah menyampaikan firman singkat di atas bumi”(AngBul 9,3-4)”. Santo Bernardinus memberikan kepada kita kesaksian yang gemilang dari khotbah yang tajam dan inkulturatif di mana dapat disimpulkan menjadi 3 kata: baik, singkat, dan jelas.
·         Berbicara dengan otoritas. Tradisi Fransiskan mewariskan kepada kita para pengkhotbah yang berkhotbah melalui perilaku. Lidah mereka tidak malu untuk berkata-kata karena kata yang diucapkan tidak jauh dari perbuatannya. Model seperti ini sangat efektif dalam berkhotbah dan tentu saja mendorong para pendengar untuk  mengatakan “Apa yang harus kita lakukan?” (Kis. 2,7). Santo Bonaventura, dalam thesisnya, mengungkapkan tiga hal dalam menghadirkan Sanda Allah:
pertama, pengetahuan yang memberikan isi, kedua,kefasihan dalam menyampaikannya, ketiga,hidup yang menandaskan keduanya. Menghadirkan sabda Allah tanpa pengetahuan akan menyajikan isi khotbah yang berbahaya, tanpa kefasihan khotbah itu akan kurang berguna, tanpa hidup yang menghiasinya khotbah itu akan tercela.

·         Kreativitas. Melihat Roh Kudus sebagai protagonis atau tokoh utama dalam evangelisasi, khotbah para Fransiskan selalu menyebarkan pengaruh di mana tanpa outline homiletika pun khotbah itu bermakna.  Dengan demikian, Santo Fransiskus telah menyatukan kata dan perilaku dan kemudian ia menggantikan yang terdahulu. Yang terbesar adalah gerakan badan yang penuh penghayatan!. Beberapa gaya berkhotbah zaman dahulu, yang tidak relevan lagi untuk zaman ini, menjawab secara tepat tuntutan orang pada waktu itu. Jika mereka tidak mampu mengakses kembali materi karena kultur yang berbeda, mereka mengajak kita untuk mencari ekspresi baru dalam menginkulturasikan sabda Tuhan pada zaman kita.


[1] Benedictus XVI, Discourse on the Occasion of the XIII Day of the Consecrated Life, February 2, 2008.
[2] Hermann Schaluck, OFM, Fill the earth with the Gospel of Christ, letter for Pentecost, 1996, 72.
[3] Jose Rodriquez Carballo, OFM, Mendicants of Meaning, guided by the Word, Letter for Pentecost, 2008, 20.

ETIKA LINGKUNGAN GLOBAL DALAM PERSPEKTIF KRISTIANI (Sdr. Pephit Berchmmans Ngabur)




“Dahulu kita bisa bercocok tanam dengan berpatokan pada musim hujan atau kemarau. Sekarang susah karena curah hujan tak menentu, musim kehilangan orientasi, tak ada pembatas antara musim kemarau dan hujan”. Ini adalah  kutipan perkataan Bapak saya dalam suatu pembicaraan. Perubahan cuaca ekstrim sangat dirasakan oleh masyarakat tani yang saban hari selalu menggauli kegiatan bercocok tanam.
Kesadaran perubahan cuaca bukan hanya disadari masyarkat lokal namun dirasakan oleh masyarakat globnal. Dalam ranah diskusi global permasalahannya bukan menyangkut berhasil atau gagalnya para petani tetapi membahas hal yang sangat urgen karena menyangkut kestabilan ekosistem kehidupan. Dalam cara pandang antroposentrisme dapat dikatakan bahwa lingkungan hidup sangat menyokong kehidupan manusia. Tak ada makhluk hidup tanpa habitat dan ekosistem di dalamnya. Refleksi ilmiah berkaitan dengan problematika lingkungan hidup ini ditulis secara komprehensif dan sistematis oleh J. Baird Callicott dalam artikelnya yang berjudul Menuju Suatu Etika Lingkungan Global. Seluruh pemikiran dan argumen ilmiah yang dilansirkan dalam artikel ini menuntun penulis untuk mencoba merefleksikan secara mendalam problematika Lingkungan Hidup dari pespektif Iman Kristiani dan secara khusus Fransiskan.

Sejarah Etika Lingkungan  Hidup dan Permasalahannya
Dalam perjalanan sejarah evolusi maupun revolusi, masalah lingkungan hidup adalah karya tulis tanpa tanda titik. Manusia dari zaman purba sampa masyarakat kontemporer tetap dan akan menggeluti serta mencari solusi untuk masalah ini. Tiap periode, baik zaman homo sapiens, abad pertengahan, modern, maupun kontemporer, selalu mempunyai Etika Lingkungan Hidup-nya masing-masing. Etika lingkungan hidup ini dibuat karena adanya ketikseimbangan lingkungan. Tujuannya sama yakni untuk menciptakan lingkungan hidup yang seimbang. Seimbang dalam arti bahwa kedua belah pihak, baik manusia maupun lingkungan tak ada yang dirugikan.
Paham-paham (etika) yang berusaha menyelamatkan lingkungan hidup berkembang dari periode ke periode. Antroposentrisme awalnya berusaha menempatkan manusia sebagai pusat pengelolaan lingkungan. Dalam prakteknya paham ini dinilai kurang memadai karena mendorong kecenderungan  manusia untuk bereksploitasi. Beberapa kelompok lain yang lebih koperatif menetapkan etika biosentrisme. Biosentrisme memusatkan kegiatan mereka demi kehidupan (Yunani: bios). Paham ini tidak memberikan tempat bagi kekayaan alam yang tak bernyawa namun berperan dalam ekosistem. Melihat kepincangan dari dua paham sebelumnya muncullah kaum environmentalis. Mereka ini melihat secara holistik peran semua unsur dalam ekosistem. Mereka mempostulatkan etika kehidupan yang lebih holistik yakni ekosentrisme.
Callicott dalam tulisannya memfokuskan pemikirannya pada perkembangan etika Kontemporer. Etika kontemp[orer menyajikan sebuah pandangan tentang kepedulian glonal tentang kerusakan lingkungan hidup. Menimbang berbagai macam pemikian etika tradisional dan menggali semangat masyarakat nomaden zaman purbakala, Callicott menyatakan bahwa kita tak mempunyai banyak alasan untuk tidak kembali ke semngat asali itu. Slogan Think global act local , memang selalu aktual. Bahkan jika kita ingin secara radikal, slogan di atas harus dipahami demikian: bahwa berpikir global dan lokal itu harus dibarengi tindakan yang cakupannya melingkupi dunia global pun lokal. Artinya dua aspek tersebut berjalan beriringan. 

Menilai Etika Lingkungan Hidup dalam perspektif Kristiani
Etika lingkungan hidup yang diulas Callicott dinilai positif karena Etika tersebut dalam perkembangannya sedemikian rupa memberikan arah dasar mengenai cara berpikir dalam rangka mencegah maupun menyelamatkan lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup, khususnya dalam gaya ulasan Callicott, membahas relasi horizontal yakni antara satu spesies terhadap spesies lainnya ataupun antara spesies dan ekosistemnya serta habitatnya. Pandangan Etika Lingkungan di atas dapat direfleksikan lebih mendalam dengan membubuhkan unsur iman di dalamnya. Pola beriman Kristiani kiranya memberikan sumbangan lebih terhadap pandangan etika lingkungan hidup ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah: apa yang menjadi sumbangan pemikiran Kristiani? Kristiani sebagai salah satu agama tentu aspek relasi dengan yang transendental menjadi kekhasannya. Dalam agama kita mengenal bahwa pola hubungan dengan yang transendental yang dikenal adalah relasi ciptaan dan pencipta. Bukti biblis, dalam Genesis, diungkapkan secara lugas bagaimana proses creatio ex nihilo  itu berlangsung. Pemikiran umat Kristiani kiranya dapat berangkat kisah Genesis ini. Di hadapan pencipta kita semua sama, karena kita semua adalah ciptaan. Semangat inilah yang mendorong St. Fransiskus Assisi menganggap segala sesuatu di sekitarnya dalah saudara (yang adalah anugerah baginya). Menganggap sekaligus mengklaim segala sesuatu adalah saudara membawa konsekuensi logis yakni kita saling menjaga dan menghargai sesama ciptaan. Adalah sebuah kesalahan jikalau sesama saudara saling merusak dan membunuh.
Pencipta yang menciptakan segala sesuatu bukan tanpa hubungan dengan hasil ciptaannya. Manusia yang kita yakini sebagai pencipta masih merindukan hubungan yang dekat dengan penciptanya. Hbungan yang sama pun, meskipun dalam kapasitas yang berbeda, terdapat dalam ciptaan lain. Dengan demikian, kehadiran sesama ciptaan adalah sebuah penampakan Pencipta. Dengan kata lain: kita dapat menemukan Pencipta kita dalam ciptaan lain atau alam sekitar (Panentheis). Dengan pemahaman seperti ini, sangatlah mungkin bagi kita untuk menjaga, merawat, dan menghargai ciptaan lain.