Kamis, 13 Juni 2013

DUA MINGGU BERSAMA YAMAHATO

Kesan Awal  Yamahato
Sekilas membaca judul di atas, mungkin pikiran kita langsung membayangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan negeri matahari, Jepang: entah orang, barang, tempat, dll. Yamahato sebenarnya adalah nama salah satu pabrik yang berada di daerah Jakarta Barat, tepatnya di Jembatan Lima (dekat Grogol). Hampir setiap produk atau pun segala sesuatu yang berhubungan dengan pabrik ini bertuliskan YAMAHATO (Safety Shoes). Jelas bahwa pabrik ini berkecimpung dalam dunia per-sepatu-an. Pabrik ini memproduksi sepatu kerja untuk Perusahaan Kereta Api Indonesia, pertambangan Freeport, dll. Selain itu, produknya digunakan juga oleh beberapa Ikatan Persekutuan SATPAM di Jakarta dan sekitarnya. Dengan demikian, kita memiliki gambaran model  sepatu yang diproduksi.

Selama dua minggu (dari tanggal 20 Juni-2 Juli 2011) ketiga saudara diutus untuk menjalankan kerja liburan di Yamahato, sebut saja sdr. Berto, sdr. Yornes, dan sdr. Pephit (*nama yang sebenarnya). Kami adalah angkatan ke-4 yang menghabiskan waktu kerja liburan di sana setelah dirintis oleh sdr. Andre Bisa dan Mas Theo Beta diikuti pasukan sdr. Hans[1], cs, lalu sdr. Ryan Dagur, cs.
Memasuki kawasan pabrik, secara apriori saya dapat merasakan betapa beratnya menjalani hari-hari hidup di sini. Selain waktu kerja yang padat, kondisi penginapan yang special kuli turut memperkuat dugaan sementara saya. Memang benar, bahwa hari-hari kami di perusahaan ini diisi dengan perjuangan yang tak kalah hebatnya dengan perjuangan para pejuang kemerdekaan '45.


Hari-hari bersama Yamahato
Pada bagian ini, saya akan mengelompokkan pengalaman saya dalam dua bagian yakni, pertama: pengalaman perjumpaan dengan karyawan/ti Yamahato dan kedua: nilai sebuah usaha.

Perjumpaan dengan karyawan-karyawati Yamahato. Rata-rata umur karyawan/ti di Yamahato berada pada rating kepala 3 ke atas, alias umur 30-an tahun ke atas. Dari rata-rata itu, hanya 25% berjenis kelamin laki-laki. Selebihnya wanita yang berstatus janda dan wanita lanjut usia. Pengalaman kerja mereka di sana pun minimal 2 tahun sampai 13 tahun. Bisa dibayangkan semangat kerja dan profesionalitas mereka dalam menangani bidangnya sangat jauh berbeda kualitasnya dengan kami yang baru memulai makan garam. Saya merasa minder dan merasa bodoh berhadapan dengan mereka, yang dinamika kerjanya sudah begitu matang. Saya berpikir jangan-jangan kehadiran saya menghambat laju kerja dan kreativitas mereka.  Memang benar, suatu kali saya melakukan kesalahan yang fatal dan mendapat teguran keras dari Bos. Padahal kesalahan itu, menurut saya, sangat kecil yakni soal kedalaman tancapan paku pada sol sepatu. Saya menancapkan paku terlalu dalam, mungkin saking semangatnya kali ye... Selain itu, beberapa mesin produksi mengalami kerusakan. Untunglah mereka bisa memahami bahwa saya masih pemula dan dalam proses belajar pengenalan mesin-mesin.

Dari karyawan/ti ini saya belajar untuk bekerja keras tanpa mengenal lelah dan saling membantu. Tak ada satu bagian pun yang dibiarkan kosong. Tak ada pembatasan tegas antara tugasku dan tugasnya. Yang diperhatikan adalah tugas kita yakni target jumlah produksi sehari. Jika pesanan mencapai 7500 pasang, maka sehari harus mampu memproduksi minimal 500 pasang sepatu dengan jumlah karyawan yang hanya 30 orang. Tidak mengherankan jika jam kerjanya padat, 8-10 jam sehari dengan waktu istirahat hanya satu sampai satu setengah jam untuk makan dan menarik nafas guna membuang peluh keletihan.


Nilai sebuah Usaha. Bagi kita mungkin kerja ini berat dan lebih baik ditinggalkan saja, toh upahnya juga gak seberapa. Saya pun memiliki anggapan seperti ini. Bagi para karyawan/ti Yamahato tidak seperti itu. Poros utama kehidupan ekonomi mereka berada di sana. Dengan upah yang jauh di bawah rata-rata itu, mereka masih mampu menghidupi keluarganya. Memang kebanyakan yang bekerja di sana adalah saudara-saudara kita yang berasal dari lapisan bawah (*iyalah,,, namanya juga buruh kasar).

Nilai usaha memang identik dengan upah yang didapat. Tapi di sini, usaha juga dilihat dari perjuangan melawan sdr. Nyamuk yang kerap malam setia menemani kami di mess, tempat penginapan. Sebuah Mess yang berada di belakang pabrik yang sudah ditumpuki barang-barang bekas sisa produksi, ditunjuk sebagai penginapan special selama 2 minggu berada di sana. Ibarat domba diutus ke tengah serigala, kami memasuki sarang nyamuk yang telah lama tak mendapatkan darah muda.

Kiranya kedatangan kami disambut hangat, silih berganti mereka setia mengunjungi kami dan tak sedikit mengais rejeki pada saudara keledai. Alhasil, lama kelamaan saudara keledai pun kehilangan stamina. Kami kesulitan meladeni saudara kita yang memiliki banyak waktu terbang pada malam hari ini. Kadang kami hanya tidur ayam[2] saja, dengan selalu menyiapkan Obat Nyamuk HIT Semprot di tangan. Sasaran semprotan yang dituju pun secara refleks dilacak. Meski setengah sadar, arah semprotan tetap fokus ke arah sekitar bunyi lintasan sang nyamuk. Hal yang menarik di sini adalah melatih sikap selalu siap sedia dan berjaga-jaga. Lebih dari itu, baru kali ini kami mengalami tidur dengan setengah sadar. Sungguh, zona nyaman saya terenggut. Selama ini saya sering tertidur pulas dengan fasilitas yang awesome... Yah, pulas tanpa sadar. Memang, meninggalkan kenyamanan fasilitas di rumah butuh penyesuaian dan pengorbanan. Kardus kami sulap jadi kasur sedang ransel dialihfungsikan menjadi bantal. hasil sulapan ini tentu saja tidak mendukung kenyenyakan tidur kami.  Di sini dan kini, kami harus bertahan dan menjalankan setiap aktivitas dengan sukacita. “Wowwhat amazing experience we’ve done…”, celetuk sdr. Yornes dengan logat Jembatan Serong-nya.


"Dempul wuku, tela toni…."
Ungkapan yang  berasal dari Manggarai-Flores ini tepat untuntuk menjelaskan arti kata kerja keras. Ungkapan di atas memang memiliki nuansa bercocok tanam. Kata dempul wuku berarti kuku tangan yang tumpul karena menyiang rumput di ladang atau sawah dan tela toni artinya pecahnya kulit punggung akibat sengatan matahari. Dempul wuku dan tela toni merupakan konsekuensi yang harus diterima dalam mengejar hasil yang maksimal. Artinya denga ungkapan ini, masyarakat disadarkan bahwa begitu besarnya pengorbanan kita untuk mendapatkan hasil pertanian yang maksimal dan memuaskan. Celaka, jika kita mendapatkan hasil dengan hanya bersantai-santai saja.

Ungkapan ini memiliki makna yang luas, pun mencakup segala macam bidang usaha baik pertanian, perkebunan, pabrik, studi, dll.  Kesuksesan selalu harus dibarengi dengan kerja keras dan pengorbanan yang tiada bandingnya. Untuk mencapai hasil produksi yang sesuai dengan target, semua personel perusahaan harus bekerja keras dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.  ^__^




[1] Sekarang menjalankan masa studi lanjut program Diakonat di STF Driyarkara
[2] Tidur dengan setengah sadar.

Tidak ada komentar: