Jumat, 14 Juni 2013

M.A.W. BROUWER, OFM : KERLIPAN CAHAYA KERAPUHAN (Suatu percikan psikologis sang misionaris)


Pengantar
Judul ini bukanlah judul asli buku yang diringkas. Buku aslinya berjudul: M.A.W. Brouwer—Antara Dua Tanah Air: Perjalanan Seorang Pastor karangan Myra Sidharta[1] (teman dekat Brouwer). Judul tulisan ini sengaja dibentuk tidak sesuai dengan judul buku aslinya karena interese saya pada sisi psikologi Brouwer. Hal ini beralasan karena mereka, baik Brouwer maupun Sidharta adalah psikolog. Kerlipan Cahaya Kerapuhan mengajak kita untuk berpikir bahwa dari kerapuhan orang masih dapat memancarkan cahaya (kerlipan diartikan sebagai suatu cahaya yang indah). Perspektif ini diambil dari teori psikologi Alfred Adler yakni situasi inferioritas yang diubah menjadi suatu dominasi: dalam hal ini kesuksesan-kesuksesan dalam misi Brouwer. Paper ini lebih dari hanya sekadar otobiografi yakni sebuah pengamatan psikologis tentang pribadi Brouwer dan misi yang dibangunnya.

Kepribadian
Pastor Brouwer (selanjutnya hanya disebut Brouwer karena ia lebih dikenal sebagai psikolog dan kolumnis dibandingkan Pastor) dilahirkan di Delft pada tanggal 14 Mei 1923. Ia dilahirkan dari keluarga yang mapan karena memiliki Toko Daging yang ternama pada era itu. Beliau memiliki tiga saudara. Brower pada masa kecilnya adalah sosok yang mudah terserang penyakit dan lemah secra fisik[2]. Keadaan yang lemah itu membentuk beliau menjadi pribadi yang Symbiose (ketergantungan yang terus menerus kepada ibu). Hal ini tak terelakkan juga karena kondisinya yang lemah dan membutuhkan banyak perhatian dari orang tuanya, dan lagi ia di-anak emas-kan oleh ibunya.

Selain itu, Brouwer mendapatkan perhatian lebih juga karena impian ibunya akan masa depan anaknya yakni menjadi Pastor. Lazim waktu itu dalam konteks kehidupan masyarakat Belanda bahwa jabatan Pastor mengangkat derajat keluarga. Seiring dengan kebanggaan ibunya pada diri Brouwer, siklus symbiose semakin kuat. Tak jarang implikasi lanjutannya adalah Brouwer sakit-sakitan dan jarang dapat disembuhkan.
Symbiose teratasi ketika ia berhasil memisahkan diri dari ibunya dan bersekolah di suatu sekolah yang dikhususkan untuk calon pastor asuhan para Fransiskan. Dan pada tahap selanjutnya ketika ia memutuskan dirinya untuk bermisi ke Asia (China) namun karena masalah politik, impian itu tidak terwujud lalu akhirnya ke Indonesia. Tetapi nilai positifnya adalah bahwa semenjak dia hidup mandiri dan terpisah dari ibunya, segala penyakitnya sembuh dan tidak ada tanda-tanda kambuh (khususnya pada masa muda Brouwer). Kemandiriannya ditunjukkan pada sikapnya yang mau ikut berperang untuk melawan NAZI pada era pendidikan menengahnya. Namun ia tidak dapat terlibat membela tanah airnya, akhirnya ia hanya meratapi tetesan-tetesan darah pengorbanan sahabat-sahabat mudanya yang tertembak mati oleh tentara NAZI dan diarak di tengah kota.

Peristiwa bersejarah dalam hidupnya terjadi tanggal 17 Maret 1949, di mana kelompoknya menerima tahbisan suci sebagai Pastor Fransiskan di Gereja Weert. Setahun setelahnya ia berangat ke Tanah Misi yakni Indonesia. Pada bulan September 1950 beliau tiba di Indonesia sebagai misionaris[3].


Karya[4]
Brouwer menghabiskan masa karyanya di Indonesia dan ia sangat mencintai Indonesia terutama dataran Sunda, tempat ia berkelana dan menemukan spirit musafirnya. Berikut secara kronologis, akan dipaparkan karya-karyanya:

Pertama, awal kedatangannya di Indonesia, beliau langsung ditempatkan di Sekolah Mardi Yuana-Sukabumi. Di sini ia mengenal Sunda dan segala kebudayaannya dan belajar mencintai Sunda. Ia berkata:”Sunda diciptakan pada waktu Allah sedang tersenyum”. Ungkapan ini adalah refleksinya terhadap keramahan Sunda kepada dirinya. Sukabumi juga menyuguhkan alam yang indah yang tak pernah ia temukan di negeri asalnya. Ia bukan hanya sebagai Guru tetapi juga sebagai Bapak dari anak-anak didiknya.

Kedua, menjadi dosen, konsultan psikologi-klinis di UNPAD[5] dan UNPAR[6]. Sebelum berkarya di dua Universitas ini, beliau belajar Psikologi di Nijmen-Belanda. Ia terkenal dengan dosen yang ramah dan memiliki metode pengajaran yang humoris namun sistematis, dan tidak menyusahkan mahasiswa dengan penjelasan yang ngawur.

Ketiga, sebagai kolumnis dan penulis. Brouwer dikenal oleh khalayak Indonesia karena tulisan-tulisannya di KOMPAS. Beliau menulis banyak hal: kritik sosial, politik, perjalanan, dll. Banyak tulisan yang menarik simpati pembaca karena dikemas dengan bahasa humoris dan popular namun dengan isi yang sangat bermakna.

Keempat, sebagai pastor. Ketiga jenis karyanya di atas terkesan bergerak di dunia pendidikan, maka perlu dilihat juga beliau sebagai imam, gembala umat. Dalam kegiatan misinya, ia selalu mengunjungi umatnya di rumah mereka masing-masing. Inilah cara pendekatan pastoral Brouwer sehingga ia tidak disegani oleh umat sekitarnya.  Ia ramah dengan setiap orang yang ditemuinya, suka bercanda, menghargai orang lain. Ia sedemikian mencintai sejarah dan kebudayaan sehingga ia mempelajari banyak sejarah kebudayaan terutama Sunda. Sebagai imam Allah juga, ia mempelopori devosi Novena Besar Santo Antonius von Padua yang sekarang masih dipraktikkan di Paroki-paroki Fransiskan di Jakarta dan Bogor.


Situasi Batas: Kecemasan yang Mendalam
Krisis menimpa Brouwer ketika menginjak masa pensiun. Ia merasa diri kosong, lantaran keadaan fisiknya kurang sehat dan penyakit diare berikut ambeyen dideritanya beberapa tahun terakhir. Keadaan ini didukung oleh dua pilihan yang belum sempat diputuskan: antara dua tanah air yakni Indonesia atau Belanda sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Awalnya dia ingin dikuburkan di Indonesia jika meninggal, namun penderitaannya menghantarkan dia ke negara asalnya. Saat-saat akhir hidupnya, ia habiskan di biara Weert, tempat tahbisannya dahulu. Di balik diri yang periang dan penuh canda tawa, serta penuh kedamaian itu, Brouwer takut akan saat pengadilan terakhir.  Brouwer takut akan kematian dan merasa cemas akan situasi keterbatasannya.


Buah-buah Refleksi
Otobiografi singkat Brouwer ini, meski kurang detail namun dapat menginspirasikan banyak orang terutama para calon-calon misionaris. Bentuk misi Brouwer dapat dikatakan unik dan istimewa. Alasan keunikan dan keistimewaan inilah yang mendorong saya untuk memilih metode analisis psikologi terhadap karya misi Brouwer. Beberapa buah refleksi yang tertuang dalam poin-poin berikut kiranya dapat menjawab tujuan umum yang telah termaktub dalam bagian pengantar tulisan di atas.

Pertama, pembebasan symbiose, sebuah langkah awal gerakan missioner. Kemerdekaan Brouwer dari kungkungan proteksi sang Ibu memberikan positive value bagi keberlangsungan misinya. Kelekatan dengan keluarga terdekat menjadi nihil ketika kita dihadapkan pada gerakan misi. Seturut semangat Fransiskus, sang pendiri Ordo, ia telah menghayati kaul kemiskinan (hidup tanpa pemilik) terutama memiliki kenyamanan dari Ibu.  Dalam meneropong karya misi, seorang misionaris tidak terlepas dari latar belakang kehidupan pribadi.
Belajar dari kehidupan Brouwer, kita perlu mengolah seluruh aspek kedirian kita yakni problematika masa lalu kita. Pembebasan symbiose sungguh-sungguh adalah gerbang sukacita kehidupan Brouwer. Ia berjalan dan menekuni panggilan atas dasar otonomi pribadinya tanpa memandang kembali kehidupan masa lalu terutama keistimewaan terhadap dirinya oleh keluarga. Oleh karena itu perhatian formasi terhadap pengolahan sejarah hidup para fraters mendapat tempat.

Kedua, pasir yang diubah menjadi mutiara. Kalimat ini sejajar dengan judul tulisan ini; Kerlipan Cahaya Kerapuhan. Situasi inferioritas yang dialami Brouwer mampu diubah menjadi aktualisasi diri yang penuh dan berhasil dalam misi. Dalam kerapuhan, para misionaris mampu memancarkan sinar yang takkan sirna oleh perkembangan zaman.
Dalam kerapuhan kita memberikan sesuatu kepada daerah misi yang ditujui. Kita memberi dari kekurangan kita (spirit persembahan janda miskin). Melakukan misi bukan semata-mata kita memiliki kemampuan intelektual yang cemerlang tetapi karena kita menyadari panggilan kita dan mau berkomitmen serta setia menjalaninya. Melakukan dengan bebas jauh efektif dibandingkan jika tugas perutusan dipaksakan. Orang yang bermisi tanpa beban akan melahirkan banyak ide-ide kreatif dalam kegiatan misinya.

Ketiga, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Peribahasa ini cocok digelarkan pada Brouwer. Beliau sangat mencintai Sunda dan segala kebudayaannya. Amanat Paus Gregorius Agung yakni melarang penghapusan budaya setempat dan diganti dengan budaya yang dibawa misionaris, masih diberlakukan oleh Brower. Respek terhadap budaya setempat memudahkan jalinan tali silahturahmi. Aspek ini menjadi salah satu kunci kesuksesan misi.
Tanah Sunda yang kental dengan Islam-nya dengan begitu mudah dimasuki Brouwer. Kedatangan ke daerah misi selalu memakai prasyarat formula dialog persaudaraan sebagai senjata ampuh melunakkan hati kaum pribumi sehingga mereka respek terhadap orang asing.
Semangat dialog ini telah ditujukkan oleh sang Bapa  Fransiskus sendiri, ketika beliau datang ke Sultan Malek Al-Khamel di Maroko tanpa membawa pedang. Dalam bermisi, kita tidak dapat begitu saja melupakan semangat dasar ordo. Semangat Ordo kiranya membantu pribadi-pribadi dalam bermisi.

Identitas Buku:
Judul                         :           M.A.W. Brouwer: Antara dua tanah air: Perjalanan                                                       Seorang Pastor.
Jumlah hlm.               :           162 halaman
Penerbit                      :           Grasindo
Pengarang                  :           Myra Sidharta
Tahun terbit              :           1994



[1] bercerita tentang perjalanan hidup Brouwer sebagai seorang anak, imam (pastor), kolumnis KOMPAS, dll. Buku ini ditulis sebagai otobiografi Brouwer.
[2] Bdk. hlm.9-15.
[3] Hlm. 41
[4] Diringkas dari buku hlm. 41-112 (Bab IV-IX).
[5] Universitas Padjadjaran Bandung
[6] Universitas Katolik Pahrayangan-Bandung.

Tidak ada komentar: