Jumat, 14 Juni 2013

“KERUSUHAN THE JAKMANIA ” MENURUT PERSPEKTIF TEORI PRASANGKA


I.             Pengantar
Dunia persepakbolaan Indonesia sungguh berbeda dari model sepak bola Eropa. Banyak aspek yang menjadi titik perbedaan antara keduanya, terutama kualitas permainan dan aksi para suporter. Di Indonesia, aksi para suporter ini sering mendapat perhatian dari media maupun masyarakat. Tidak jarang sorotan ini muncul karena aksi-aksi mereka yang kadang disertai dengan tindakan anarkis baik dalam stadion maupun di luar stadion. Ulah di luar stadion sering menjadi penyebab berbagai masalah, misalnya kemacetan lalu lintas, berbagai macam kerusakan, dll.

Salah satu kelompok suporter bola di Indonesia yang menjadi kelompok sentral adalah The Jakmania. The Jakmania adalah kelompok suporter klub bola kaki PERSIJA (Persatuan Sepak Bola Jakarta). Kelompok suporter bola ini sudah dikenal seluruh masyarakat Indonesia karena kerusuhannya. Media, baik cetak maupun elektronik sering mengekspose berita-berita tentang ulah-ulah yang dilakukan  The Jakmaniamania. Kerusuhan yang terjadi memiliki latar belakang yang berbeda, misalnya faktor kekalahan, diserang, atau pun ingin membuat keributan. Sehingga, kerusuhan terjadi kadang bukan hanya antara The Jakmaniamania dengan kubu dari luar (suporter PERSEBAYA “Bonek”, PERSIKABO-Bogor, PERSIB-Bandung, dll) tetapi juga kadang terjadi kerusuhan antara The Jakmania sendiri. Paper ini tidak akan mengulas kerusuhan yang terjadi di antara The Jakmania sendiri, melainkan kerusuhan  Jakmania dengan kubu-kubu dari luar.
Ada beberapa alasan dipilihnya kerusuhan The Jakmania sebagai contoh kasus. Pertama, kerusuhan ini melibatkan dua kelompok besar. Konflik antara dua kelompok ini menarik karena terjadi dalam beberapa periode, hampir setiap tahun dalam setiap pertandingan terjadi kerusuhan. Perseteruan antara dua kubu merupakan fenomena yang menarik untuk dianalisis sebagai suatu gejala psikologi sosial. Kedua, faktor kedekatan tempat tinggal penulis dengan The Jakmaniamania turut menjadi motivasi untuk menganalisis fenomena psikologi tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, penulis mengambil teori prasangka (prejudice) sebagai acuan analisis. Teori prasangka ini kiranya dapat memberi pendasaran mengenai penyebab atau alasan terjadinya berbagai macam kerusuhan antara The Jakmania dengan kubu-kubu lain. Penyebab terjadinya kerusuhan tentu dilihat dari sudut pandang psikologi sosial. Pemilihan teori prasangka sebagai acuan pun tentu memiliki pertimbangan khusus. Melihat perseteruan melibatkan dua kelompok besar dan intensitasnya yang constant (terjadi setiap tahun), maka penulis melihat ada sesuatu yang mendasar yang sudah menjadi kekhasan dalam kubu atau kelompok tersebut.

II.          Ilustrasi atau Ringkasan Kasus
Berikut disajikan dua kasus yang berkaitan dengan kerusuhan yang melibatkan The Jakmania:
Pertama, di Bogor. Tawuran antar suporter terus terjadi. Kali ini melibatkan suporter Persikabo dengan warga Bogor pendukung Jakmania. Bentrok antara kedua kubu terjadi di wilayah Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Akibatnya seorang warga setempat terluka Pantauan di lapangan, Jumat (3/12/2010) sore, tawuran terjadi saat ratusan suporter Persikabo melintas di Jalan Raya Bogor, tepatnya di Nanggewer, Kecamatan Cibinong. Motif tawuran ini belum jelas karena dua kubu langsung terlibat dalam aksi lempar-melempar batu[1].
Kedua, di Jakarta. Menyusul kekalahan Persija, The Jakmaniamania berbuat rusuh usai pertandingan. Suporter Persija ini membakar spanduk, merusak sejumlah kendaraan motor dan fasilitas penerangan di sekitar stadion Gelora Bung Karno. Mereka juga melempari polisi dengan batu dan botol. Untuk mengendalikan keadaan, polisi menyemprotkan air bertekanan tinggi ke arah para pendukung Persija. Setelah perlawanan mereda, polisi mengejar para pendukung Persija hingga ke luar stadion. Namun, bentrokan kembali terjadi. Sejumlah suporter yang diketahui berbuat kerusuhan akhirnya ditangkap polisi[2].


III.       Landasan Teori[3]
Telah dikatakan sebelumnya bahwa dalam menganalisis kasus yang telah dilampirkan, dipakai teori prasangka. Prasangka, menurut Allport (dalam Mar'at, 1981) adalah ekspresi sikap prasangka melibatkan peranan-peranan negatif seperti misalnya; penghinaan, ketidaksukaan, kebencian yang kesemuanya menunjukkan sikap antipati[4].
Secara umum ada dua bagian penting dalam teori prasangka yang menurut saya berhubungan langsung dengan kasus di atas. Kedua bagian itu adalah: mempelajari prasangka dan motif-motif untuk prasangka. Selanjutnya akan diulas lebih spesifik bagian-bagian tersebut dalam hubungannya dengan kasus yang telah disajikan.

3.1. Mempelajari Prasangka. Pembentukan prasangka memiliki tahap-tahap dalam prosesnya. Prasangka bukanlah sesuatu yang dilahirkan (sebagai kodrat manusia) tetapi suatu hal yang dipelajari (dapat melalui lingkungan dan kebiasaan). Dua faktor utama pembentuk awal prasangka adalah sosialisasi dan (peran) media.
3.1.1.      Sosialisasi
Anak-anak tidak dilahirkan dengan stereotype dan prasangka. Mereka mempelajarinya dari keluarga, kerabat, media, dan masyarakat di sekelilingnya. Hal inilah yang disebut sebagai sosialisasi. Sosialisasi mengacu kepada proses bagaimana anak-anak mempelajari norma-norma sosial konvensional atau tradisioanal dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi inilah anak-anak belajar tentang norma-norma sosial kemasyarakatan. Adapun mekanisme belajar yang kerapkali dipakai oleh anak-anak dalam proses itu adalah sebagai berikut.
ü  Imitasi (meniru apa yang dilakukan orang dewasa).
ü  Reinforcement (penguatan). Seorang anak mendapat penguatan ketika dalam masyarakat atau kelompok kecil seringkali diceritakan tentang hal-hal tertentu yang bersifat menghina kelompok lain.
ü  Asosiasi. Anak-anak sudah mengasosiasi suatu hal negatif dengan kelompok-kelompok tertentu.
            Prasangka seringkali dipelajari pada tahap-tahap awal dalam hidup. Orangtua dan kerabat bertangungjawab dalam upaya menanamkan norma sosial. Orangtua memegang peranan penting dalam pemahaman prasangka pada anak-anak.
3.1.2.      Media
Media merupakan representasi dari sumber-sumber yang potensial dalam pembelajaran sosial khususnya bagi anak-anak. Beberapa dekade lamanya, ras minoritas hampir pasti jarang terlihat di media-media masa. Televisi juga cenderung memberitakan untuk menguatkan stereotipe bahwa ras minoritas erat kaitanya dnegan kriminal.

3.2. Motif-motif Prasangka. Ada dua macam motif prasangka yakni pendekatan psikodinamis dan kompetisi dalam kelompok.  Pendekatan psikodinamis tidak mendapat tempat yang banyak dalam paper ini karena kurang berhubungan langsung dengan kasus yang disajikan. Sebaliknya, kompetisi dalam kelompok menjadi prioritas, karena telah diutarakan dalam bagian pengantar bahwa kerusuhan yang terjadi melibatkan dua kelompok besar.  Kedua motif tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Pendekatan Psikodinamis yang terdiri dari Displacement Aggression dan Authoritarian Personality
2.      Kompetisi dalam Kelompok. Gagasan motivasional lain adalah prasangka merupakan bagian dari persaingan kelompok. Hal ini bermula dari anggapan bahwa masyarakat merupakan komposisi kelompok-kelompok yang berbeda dalam kekuatan, sumber ekonomi, status sosial, dan atribut-atribut lainnya. Kelompok yang dominan dimotivasi untuk menolak adanya ketimpangan. Persaingan menghasilkan konflik antar-kelompok yang selanjutnya saling berprasangka. Ada beberapa versi teori yang mengulas hal ini. 
ü   Konflik kelompok yang realistis. Teori kelompok yang realistis memandang prasangka sebagai konsekuesi persaiangan yang tak terelakkan di antara kelompok yang lebih berkuasa. Teori ini berargumen bahwa ketika dua kelompok berada dalam suatu persaingan, mereka akan saling mengancam. Hal ini menciptakan perseteruan di antara mereka dan menghasilkan evaluasi negatif yang timbal balik. Jadi, prasangka merupakan konsekuesi dari konflik nyata untuk memperebutkan sumber-sumber yang diinginkan dua kelompok.
ü   Deprivation Relatif. Ketidakpuasan oleh karena keyakinan bahwa salah satu kelompok sudah berhasil daripada yag lain. Teori ini melihat prasangka sebagai reaksi terhadap frustrasi yang nyata. Tetapi kadang-kadang orang menghayati bahwa mereka dihalangi oleh yang lain, meskipun dalam kenyataannya mereka sesungguhnya mampu melakukannya dengan baik.
ü   Sense of Group Posession (Perasasan rasa memiliki dalam kelompok). Kelompok bekerja secara aktif untuk melindungi status istimewa dan segala penghasilannya atau kepemilikanya dan menentang adanya subordinasi dari kelompok lain.
ü   Teory dominasi sosial. Teory ini berasumsi bahwa kelompok-kelompok dalam masyarakat bertujuan untuk diatur dalam hierarki-hierarki, dengan beberapa kelompok berada di atas dan yang lain di bawah. Hierarki ini pertahankan melalui diskriminasi, mengesahkan mitos, dan usaha-usaha individu yang tertinggi dalam dominasi orientasi sosial.

IV.       Analisis Kasus
Melihat kedua kasus di atas, penulis mencoba mengidentifikasikannya dari sudut teori prasangka. Aksi-aksi anarkis yang seringkali dilakukan The Jakmania bukanlah suatu tindakan spontan. Tindakan itu memang berakar dalam kelompok The Jakmania sendiri dalam membentuk streotipe yang selanjutnya membangun suatu prasangka tertentu terhadap kelompok lain. Mengingat prasangka tersebut tidak lepas dari unsur-unsur negative yang menyertainya dan juga sarat emosi, maka tindakan anarkis muncul dari situas itu. Berdasarkan teori-teori di atas, ada dua hal pokok yang  ingin dikemukakan yakni: “regenerasi” The Jakmania

 dan persaingan antar kelompok.

Pertama, “Regenerasi” The Jakmania.
Kelompok supporter Persija ini akan tetap eksis dan generasinya tidak akan habis (sejauh PERSIJA juga masih menjadi klub sepak bola). Hal ini didasarkan pada adanya kegiatan “regenerasi” (secara tak sadar) terhadap anggota The Jakmania. Dikatakan “regenerasi” tak sadar karena supporter Persija meliputi orang-orang dari berbagai umur. Anggota-anggota mereka terdiri dari anak-anak usia SD sampai orang dewasa. Tidak jarang juga anak-anak kecil ini ikut bergabung dalam pawai-pawai akbar The Jakmania ketika Persija bertanding.

Pada saat anak-anak ini bergabung dan berkumpul dengan The Jakmania yang lainnya, mereka mulai mempelajari prasangka. Pada tahap awal, anak-anak itu bergabung bersama The Jakmania, ia masih melakukan sosialisasi tahap awal yakni imitasi dan reinforcement. Menambuh genderang di atas Metromini sampai aksi lempar-melempar batu seperti yang terjadi di Bogor, mulai ditiru anak-anak. Selanjutnya, mendapatkan penguatan dari cerita-cerita anggota lain yang menjelek-jelekkan suporter lain turut membentuk prasangka si anak. Pada akhirnya, ia sudah memiliki prasangka sendiri tentang suporter klub lain, dan mulai mengasosiasikannya. Misalnya, ketika mendengar kata PERSEBAYA, yang ada dalam pikirannya adalah musuh dan harus dilawan, karena BONEK (suporter PERSEBAYA) dikenal anarkis. Atau lebih luas dikatakan bahwa, ketika mendengar klub bola lain, pihak yang berprasangka menganggap itu sebagai musuh.
Selain itu, peran media juga turut mendukung proses pembentukkan prasangka. Seringkali media, baik media masa maupun elektronik, mengekspos berita-berita kerusuhan yang dilakukan The Jakmania. Pemberitaan seperti ini turut mendukung terbentuknya kepemilikan identitas terhadap Persija. Berita media yang selalu mengabarkan sisi negatif  The Jakmania dapat juga dijadikan wahana pembentuk identitas mereka sendiri. Mereka berpikir bahwa kerusuhan itulah yang menjadi identitas The Jakmania.

Kedua, Persaingan antar-kelompok.
Kelompok Jakmania memang memiliki stereotipe sendiri tentang kelompoknya. Ada kekhasan yang mendorong mereka untuk merasa super dalam segala hal. Mereka memiliki anggota yang banyak, anak ibukota (negara). Selain itu, klub yang didukung mereka pun tidak jarang berada pada posisi atas klasemen dalam partai-partai Liga. Secara umum dapat dikatakan bahwa The Jakmania sebenarnya mempunyai nama besar dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Sementara kelompok lain seperti BONEK, suporter PERSIB (Bandung), atau PERSEMA, dll belum tentu mengakui keistimewaan dan kebesaran mereka. Sebab dalam persepakbolaan, mereka juga memiliki gelar dan suporter yang sama besar seperti The Jakmania. Sehingga persaingan untuk memperebutkan harga diri dan gengsi-lah yang menyeret kedua kelompok ke dalam kerusuhan yang tak terelakkan.

Selain itu, pada kasus yang kedua di atas, dinyatakan bahwa kerusuhan bermotifkan pembakaran spanduk dan pengrusakan sepeda motor di Stadion Gelora Bung Karno. Alasan kerusuhan adalah kekalahan yang diterima oleh PERSIJA dari PERSEMA (Malang). Tindakan ini sebetulnya suatu tindakan pengalihan (Deprivation Relatif) karena suporter tidak mengetahui lagi siapa yang menjadi sasaran kemarahan mereka. Mereka tidak mungkin menyerang para pemain PERSIJA yang bermain kurang optimal dalam menjamu PERSEMA. Hal ini masih berkaitan erat dengan persaingan kelompok di atas sebab anggota The Jakmania yang sudah merasa memiliki PERSIJA, merasa kehilangan harga dirinya.
Peristiwa kekalahan ini menyentuh sisi sensitivitas kelompok Jakmania yang mempunyai nama besar. Orang yang sudah merasa memiliki kelompok tertentu (Sense of Group Posession), akan membela kelompoknya apabila kelompoknya terancam. Dalam sejarah persepakbolaan Indonesia, para suporter, tak terkecualikan PERSIJA, memilik rasa fanatik yang tinggi terhadap klub andalannya. Pribadi-pribadi dalam kelompok itu pun pasti mempunya respek terhadap klub yang didukungnya dan ia menilai klubnya sangat istimewa (seperti tak ada tandingannya lagi). Pada saat keistimewaan itu tergusur oleh kekalahan dari klub lain, maka ia membela rasa kekalahan dengan jalan tindakan anarkis atau kerusuhan.

V.          Tanggapan
Tindakan kekerasan dalam dunia persepakbolaan di Indonesia memang sulit untuk diakhiri. Hal ini bukan sebatas masalah adanya kekerasan atau tidak tetapi memiliki suatu corak multiproblematis. Hal yang telah dipaparkan merupakan tindakan kerusuhan yang dilakukan oleh The Jakmania dari perspektif Ilmu Psikologi Sosial (khususnya teori Prasangka). Kerusuhan sudah sering terjadi dan hampir tidak bisa dikendalikan lagi, karena sudah menjadi kebiasaan umum kelompok-kelompok suporter bola khususnya suporter PERSIJA. Kerusuhan ini tentu berpengaruh buruk terhadap masyarakat luas khususnya penduduk kota Jakarta. Pengaruh buruk itu tampak dalam terganggunya keamanan masyarakat juga menyangkut anak-anak yang terlibat dalam organisasi magnum ”the Jakmania”.
Sudah banyak langkah praktis yang ditangani oleh pemerintah. Salah satu langkah praktis itu adalah meningkatkan kualitas penjagaan pawai-pawai akbar para supoter selanjutnya memantau dan menindaklanjuti segala kerusuhan di stadion atau pun di luar stadion. Hal ini memang berada pada tahap legalitas, yakni meningkatkan keteraturan hukum keamanan.
Dari sudut psikologi sosial, pembentukan prasangka bisa diatasi sejak dini. Dalam kasus aktual kerusuhan The Jakmania dan eksesnya bagi masyarakat umum, terutama anak-anak, diharapkan perlu pendampingan orang tua secara intensif terhadap anak. Pendampingan intensif ini dilakukan khususnya ketika anak berada pada umur-umur sosialisasi. Anak perlu dididik untuk tidak mengikuti organisasi yang berpotensi merusak mental anak sendiri. Perlu pengarahan sejak dini. Relevansinya, terdapat pada pendidikan nilai yang harus diberikan kepada anak oleh orang tua ataupun lingkungan.
Selain itu, perlu adanya keseimbangan pemberitaan media. Di Indonesia, memang ada undang-undang kebebasan pers. Hal ini bukan berarti pers sebebas-bebasnya dan tidak memperhatikan efek pemberitaan itu sendiri. Justru hal ini yang sering tidak diperhatikan. Pemberitaan pers (misalnya soal kerusuhan atau kekerasan ), di satu sisi, mungkin bercorak ekonomis karena banyak diminati khalayak sehingga mendatangkan keuntungan. Di pihak lain, dari segi psikologi, pemberitaan itu akan berakibat pada psikologi seseorang atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya suatu keseimbangan dalam pemberitaan. Hal ini mengandaikan dalam dunia pers sendiri terdapat filtrasi berita yang sangat ketat dan bersih.

Daftar Pustaka:
Bacaan Utama:
Thaylor Shelley, Peplau, dan Sears, 2006, Social Psychology, New Jersey: Pearson Prentince Hall.
Ringkasan Psikologi Sosial (bahan Kuliah).

Sumber Internet:
http://www.lintasberita.com/go/1507728. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.00 WIB)
http://groups.yahoo.com/group/arema-l/message/16590. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.30 WIB)


[1] http://www.lintasberita.com/go/1507728. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.00 WIB)
[2] http://groups.yahoo.com/group/arema-l/message/16590. (Diunduh 21 Desember, pkl. 20.30 WIB)
[3] Landasan teori ini bersumber dari buku: Shelley Thaylor, Peplau, dan Sears, 2006, Social Psychology, New Jersey: Pearson Prentince Hall. (hlm. 163-203-Bab PREJUDICE), diringkaskan.

Tidak ada komentar: