Pengantar

Kepribadian
Pastor
Brouwer (selanjutnya hanya disebut Brouwer karena ia lebih dikenal sebagai
psikolog dan kolumnis dibandingkan Pastor) dilahirkan di Delft pada tanggal 14
Mei 1923. Ia dilahirkan dari keluarga yang mapan karena memiliki Toko Daging
yang ternama pada era itu. Beliau memiliki tiga saudara. Brower pada masa
kecilnya adalah sosok yang mudah terserang penyakit dan lemah secra fisik[2].
Keadaan yang lemah itu membentuk beliau menjadi pribadi yang Symbiose (ketergantungan yang terus
menerus kepada ibu). Hal ini tak terelakkan juga karena kondisinya yang lemah
dan membutuhkan banyak perhatian dari orang tuanya, dan lagi ia di-anak
emas-kan oleh ibunya.
Selain
itu, Brouwer mendapatkan perhatian lebih juga karena impian ibunya akan masa
depan anaknya yakni menjadi Pastor. Lazim waktu itu dalam konteks kehidupan
masyarakat Belanda bahwa jabatan Pastor mengangkat derajat keluarga. Seiring
dengan kebanggaan ibunya pada diri Brouwer, siklus symbiose semakin kuat. Tak jarang implikasi lanjutannya adalah Brouwer
sakit-sakitan dan jarang dapat disembuhkan.
Symbiose teratasi
ketika ia berhasil memisahkan diri dari ibunya dan bersekolah di suatu sekolah
yang dikhususkan untuk calon pastor asuhan para Fransiskan. Dan pada tahap
selanjutnya ketika ia memutuskan dirinya untuk bermisi ke Asia (China) namun
karena masalah politik, impian itu tidak terwujud lalu akhirnya ke Indonesia.
Tetapi nilai positifnya adalah bahwa semenjak dia hidup mandiri dan terpisah
dari ibunya, segala penyakitnya sembuh dan tidak ada tanda-tanda kambuh (khususnya
pada masa muda Brouwer). Kemandiriannya ditunjukkan pada sikapnya yang mau ikut
berperang untuk melawan NAZI pada era pendidikan menengahnya. Namun ia tidak
dapat terlibat membela tanah airnya, akhirnya ia hanya meratapi tetesan-tetesan
darah pengorbanan sahabat-sahabat mudanya yang tertembak mati oleh tentara NAZI
dan diarak di tengah kota.
Peristiwa
bersejarah dalam hidupnya terjadi tanggal 17 Maret 1949, di mana kelompoknya
menerima tahbisan suci sebagai Pastor Fransiskan di Gereja Weert. Setahun
setelahnya ia berangat ke Tanah Misi yakni Indonesia. Pada bulan September 1950
beliau tiba di Indonesia sebagai misionaris[3].
Karya[4]
Brouwer
menghabiskan masa karyanya di Indonesia dan ia sangat mencintai Indonesia
terutama dataran Sunda, tempat ia berkelana dan menemukan spirit musafirnya.
Berikut secara kronologis, akan dipaparkan karya-karyanya:
Pertama, awal
kedatangannya di Indonesia, beliau langsung ditempatkan di Sekolah Mardi
Yuana-Sukabumi. Di sini ia mengenal Sunda dan segala kebudayaannya dan belajar
mencintai Sunda. Ia berkata:”Sunda
diciptakan pada waktu Allah sedang tersenyum”. Ungkapan ini adalah
refleksinya terhadap keramahan Sunda kepada dirinya. Sukabumi juga menyuguhkan
alam yang indah yang tak pernah ia temukan di negeri asalnya. Ia bukan hanya
sebagai Guru tetapi juga sebagai Bapak dari anak-anak didiknya.
Kedua,
menjadi dosen, konsultan psikologi-klinis di UNPAD[5]
dan UNPAR[6].
Sebelum berkarya di dua Universitas ini, beliau belajar Psikologi di
Nijmen-Belanda. Ia terkenal dengan dosen yang ramah dan memiliki metode
pengajaran yang humoris namun sistematis, dan tidak menyusahkan mahasiswa
dengan penjelasan yang ngawur.
Ketiga,
sebagai kolumnis dan penulis. Brouwer dikenal oleh khalayak Indonesia karena
tulisan-tulisannya di KOMPAS. Beliau
menulis banyak hal: kritik sosial, politik, perjalanan, dll. Banyak tulisan
yang menarik simpati pembaca karena dikemas dengan bahasa humoris dan popular
namun dengan isi yang sangat bermakna.
Keempat,
sebagai pastor. Ketiga jenis karyanya di atas terkesan bergerak di dunia
pendidikan, maka perlu dilihat juga beliau sebagai imam, gembala umat. Dalam
kegiatan misinya, ia selalu mengunjungi umatnya di rumah mereka masing-masing.
Inilah cara pendekatan pastoral Brouwer sehingga ia tidak disegani oleh umat
sekitarnya. Ia ramah dengan setiap orang
yang ditemuinya, suka bercanda, menghargai orang lain. Ia sedemikian mencintai
sejarah dan kebudayaan sehingga ia mempelajari banyak sejarah kebudayaan
terutama Sunda. Sebagai imam Allah juga, ia mempelopori devosi Novena Besar
Santo Antonius von Padua yang sekarang masih dipraktikkan di Paroki-paroki
Fransiskan di Jakarta dan Bogor.
Situasi Batas: Kecemasan yang
Mendalam
Krisis
menimpa Brouwer ketika menginjak masa pensiun. Ia merasa diri kosong, lantaran
keadaan fisiknya kurang sehat dan penyakit diare berikut ambeyen dideritanya
beberapa tahun terakhir. Keadaan ini didukung oleh dua pilihan yang belum
sempat diputuskan: antara dua tanah air yakni Indonesia atau Belanda sebagai
tempat peristirahatan terakhirnya. Awalnya dia ingin dikuburkan di Indonesia
jika meninggal, namun penderitaannya menghantarkan dia ke negara asalnya.
Saat-saat akhir hidupnya, ia habiskan di biara Weert, tempat tahbisannya
dahulu. Di balik diri yang periang dan penuh canda tawa, serta penuh kedamaian
itu, Brouwer takut akan saat pengadilan terakhir. Brouwer takut akan kematian dan merasa cemas
akan situasi keterbatasannya.
Buah-buah Refleksi
Otobiografi
singkat Brouwer ini, meski kurang detail namun dapat menginspirasikan banyak
orang terutama para calon-calon misionaris. Bentuk misi Brouwer dapat dikatakan
unik dan istimewa. Alasan keunikan dan keistimewaan inilah yang mendorong saya
untuk memilih metode analisis psikologi terhadap karya misi Brouwer. Beberapa
buah refleksi yang tertuang dalam poin-poin berikut kiranya dapat menjawab
tujuan umum yang telah termaktub dalam bagian pengantar tulisan di atas.
Pertama, pembebasan symbiose, sebuah langkah awal gerakan
missioner. Kemerdekaan Brouwer dari kungkungan proteksi sang Ibu memberikan positive value bagi keberlangsungan
misinya. Kelekatan dengan keluarga terdekat menjadi nihil ketika kita
dihadapkan pada gerakan misi. Seturut semangat Fransiskus, sang pendiri Ordo,
ia telah menghayati kaul kemiskinan (hidup tanpa pemilik) terutama memiliki
kenyamanan dari Ibu. Dalam meneropong
karya misi, seorang misionaris tidak terlepas dari latar belakang kehidupan
pribadi.
Belajar
dari kehidupan Brouwer, kita perlu mengolah seluruh aspek kedirian kita yakni
problematika masa lalu kita. Pembebasan symbiose
sungguh-sungguh adalah gerbang sukacita kehidupan Brouwer. Ia berjalan dan
menekuni panggilan atas dasar otonomi pribadinya tanpa memandang kembali
kehidupan masa lalu terutama keistimewaan terhadap dirinya oleh keluarga. Oleh
karena itu perhatian formasi terhadap pengolahan sejarah hidup para fraters
mendapat tempat.
Kedua,
pasir yang diubah menjadi mutiara. Kalimat ini sejajar dengan judul tulisan
ini; Kerlipan Cahaya Kerapuhan.
Situasi inferioritas yang dialami Brouwer mampu diubah menjadi aktualisasi diri
yang penuh dan berhasil dalam misi. Dalam kerapuhan, para misionaris mampu
memancarkan sinar yang takkan sirna oleh perkembangan zaman.
Dalam
kerapuhan kita memberikan sesuatu kepada daerah misi yang ditujui. Kita memberi
dari kekurangan kita (spirit
persembahan janda miskin). Melakukan misi bukan semata-mata kita memiliki
kemampuan intelektual yang cemerlang tetapi karena kita menyadari panggilan
kita dan mau berkomitmen serta setia menjalaninya. Melakukan dengan bebas jauh
efektif dibandingkan jika tugas perutusan dipaksakan. Orang yang bermisi tanpa
beban akan melahirkan banyak ide-ide kreatif dalam kegiatan misinya.
Ketiga,
di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung. Peribahasa ini cocok digelarkan pada Brouwer. Beliau sangat
mencintai Sunda dan segala kebudayaannya. Amanat Paus Gregorius Agung yakni
melarang penghapusan budaya setempat dan diganti dengan budaya yang dibawa
misionaris, masih diberlakukan oleh Brower. Respek terhadap budaya setempat
memudahkan jalinan tali silahturahmi. Aspek ini menjadi salah satu kunci
kesuksesan misi.
Tanah
Sunda yang kental dengan Islam-nya dengan begitu mudah dimasuki Brouwer.
Kedatangan ke daerah misi selalu memakai prasyarat formula dialog persaudaraan
sebagai senjata ampuh melunakkan hati kaum pribumi sehingga mereka respek terhadap
orang asing.
Semangat
dialog ini telah ditujukkan oleh sang Bapa
Fransiskus sendiri, ketika beliau datang ke Sultan Malek Al-Khamel di
Maroko tanpa membawa pedang. Dalam bermisi, kita tidak dapat begitu saja
melupakan semangat dasar ordo. Semangat Ordo kiranya membantu pribadi-pribadi
dalam bermisi.
Identitas Buku:
Judul : M.A.W.
Brouwer: Antara dua tanah air: Perjalanan Seorang Pastor.
Jumlah hlm. :
162 halaman
Penerbit : Grasindo
Pengarang : Myra
Sidharta
Tahun terbit : 1994
[1]
bercerita tentang perjalanan hidup Brouwer sebagai seorang anak, imam (pastor),
kolumnis KOMPAS, dll. Buku ini ditulis sebagai otobiografi Brouwer.
[2]
Bdk. hlm.9-15.
[3]
Hlm. 41
[4]
Diringkas dari buku hlm. 41-112 (Bab IV-IX).
[5]
Universitas Padjadjaran Bandung
[6]
Universitas Katolik Pahrayangan-Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar